Seperti gasris orbit yang mengikat benda-benda yang ada di dalamnya. Benda-benda itu tidak akan keluar apalagi melesat dari lingkaran itu. Asumsiku pun turut menyetujuinya. Hal-hal yang menjadi milik kita adalah hal-hal yang berada didalam lingkaran bersama kita. Tidak akan lari apalagi tertukar. Namun, semua itu hanyalah teori dan asumsi.
Hari ini dan beberapa hari ke depan keramaian kota Jakarta menjadi pemandanganku. Aroma obat mengalahkan wangi bajuku. Tapi Sam bilang ia menyukai wangiku yang sekarang. Aku tertawa.
"Wangi apa maksudmu? Parfumku sejak dulu tidak pernah berubah. Kamu aja yang udah lama gak jumpa aku jadi lupa sama wangi aku. Iyakan?"
Sam tertawa sebentar, ia kembali murung. Bibirnya pucat dan tatapannya sayu.
"Sam?" panggilku.
Ia menatapku. "Aku takut Sab."
Sam menggenggam kedua tanganku yang hangat. Tangannya terasa sangat dingin, namun badannya panas. Aku terus mengajak Sam bercanda, dan sesekali memperlihatkan foto lucu yang ku tangkap dengan kamera ponselku. Foto seorang anak laki-laki yang berusia sekitar empat tahun tengah minum sambil menahan kantuknya. Kedua orang tua anak itu pun turut tertawa gemas melihat anaknya. Anak itu satu pesawat denganku tadi subuh.
Sam sempat tertawa dan merespon meski hanya sebentar. Sam kembali cemas. Aku bingung harus bagaimana lagi menghadapi Sam yang lagi ketakutan ini.
"Sam udah ah! Kan dibius, jadi sakitnya gak terasa."
Sam tidak merespon, ia masih menatap dan menggenggam satu tanganku. Sam hanya diam. Situasi ini menjadi canggung bagiku. Hatiku bergetar tidak karuan. Tanganku ingin segera lepas dari genggaman Sam.
Aku menghela napas panjang. Dengan keberanian ku elus kepala Sam. Aku tersenyum. Kali ini Sam merespon.
"Aku yakin aku bisa, iyakan Sab?" Sam mulai berbicara lagi.
"Iya Sam, kamu bisa," balasku. Sementara tanganku kembali mengelus kepala Sam. Siapa sangka hal kecil ini bisa membuat Sam lebih tenang.
Aku duduk di samping tempat tidur Sam. Selang beberapa menit, dokter dan dua perawatnya datang. Mereka membawa Sam untuk diperiksa dan melakukan persiapan untuk operasi. Dan tibalah saatnya Sam akan memasuki ruangan operasi.
Aku mengirimkan pesan singkat kepada mamanya Sam, bahwa Sam akan segera dioperasi. Dengan rasa khawatir aku keluar dari rumah sakit itu. Mencari udara segar dan sesuatu yang bisa memenuhi ruang kosong dalam perutku. Tidak jauh dari rumah sakit ini terdapat sebuah pedagang kaki lima yang menjual bubur ayam. Kebetulan sekali kemarin pagi aku menginginkannya.
Beruntunglah rata-rata pembeli meminta buburnya dibungkus, jadi aku merasa sedikit nyaman makan tanpa ada yang menatap. Sebetulnya sejak kemarin malam aku tidak sempat makan. Tiba-tiba Sam menelponku, ia memberi kabar bahwa ia akan dioperasi. Kaget! Karena sudah lama tidak mengetahui kabar Sam, dan sekalinya dikabari malah berupa kabar yang tidak baik. Sam memohon kepadaku agar aku menemaninya selama ia di rumah sakit. Sesuatu hal yang berat, karena besok aku harus kuliah. Namun, menimbang orang tua Sam yang tidak bisa langsung ke Jakarta karena mereka takut dengan perjalanan melalui udara dan paman Sam sedang berada di Jepang, jadilah aku izin kuliah untuk hari ini dan mungkin besok juga.
Pertimbangan yang sangat sulit, ketika harus memilih kuliah atau menemani Sam yang tengah sakit. Namun, timbanganku lebih berat kepada Sam. Malam itu juga Sam memesankanku tiket pesawat. Bahkan Sam juga menyuruh temannya untuk menjemputku di bandara. Herannya, Sam memiliki banyak teman di sini, lantas mengapa ia memintaku untuk menemaninya. Dan mengapa ia tidak meminta Zizi untuk menemaninya?
Lapar yang kelewatan membuatku memakan dua porsi bubur ayam. Ini akan jadi topik yang menarik untuk dibicarakan nanti bersama Sam. Sayangnya, ia pasti belum boleh makan bubur ini. Sibuk berdiskusi dalam pikiranku membuatku lupa dengan ponselku. Ternyata sudah ada empat panggilan idak terjawab. Aku menghubungi kembali si penelpon.
“Hallo bang? Maaf ya, hp Sabrina mode Silent jadi gak kedengaran.”
“Iya Sab, gak papa. Kamu dimana? Kok gak masuk kampus? Abang tadi ke kampus nyariin kamu.”
Aku terdiam beberapa saat memikirkan jawaban apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan bang Fajar barusan.
“Sab? Sabrina?”
“Um iya bang. Temen Sabrina lagi sakit dan dia sendiri, jadi Sabrina yang nemani dia bang.”
“Ooh syukurla abang kira kamu kenapa. Terus rumah sakit mana? Biar abang susulin kamu ke sana.”
“Mm Sabrina di Jakarta bang,” jawabku ragu.
“Ha? Seriusan Sab? Kok kamu gak bilang-bilang? Terus kamu berangkat sendiri?” Bang Fajar terdengar seperti sedang memprotes.
“Maaf ya bang, keadaanya semalam urgent banget.”
“Ya ampun Sab, padahal kamu bisa minta temani sama abang aja. Kalau ada apa-apa kamu harusnya hubungi abang dulu, biar abang bantu. Terus kamu gimana? Udah makan?”
“Udah bang, ini baru siap. Btw udah dulu ya bang, Sabrina mau ke rumah sakit lagi. Bye bang!” kataku langsung mengakhiri telpon.
Aku mulai merasakan sesuatu yang berlebihan dari bang Fajar. Memang kami dekat, namun kami tidak terikat. Tidak ada keharusan untuk saling mengabari seperti ingin bang Fajar tadi. Aku mulai merasa tidak nyaman. Selalu merasa seperti ini. Setiap aku dekat dengan seorang laki-laki selalu ada sisi yang membuat aku tidak nyaman. Berbeda dengan Sam yang selalu membangun kenyamanan.