Pagi ini aku kembali menjalani rutinitasku sebagai seorang mahasiswi. Karena Sam aku bolos dua hari. Namun, kalau bukan karena ke Jakarta dan menunggu Sam, bisa jadi aku terlambat mengetahui apa yang salah dari tubuhku, bahkan bisa jadi aku tidak mengetahuinya. Entah harus sedih atau bahagia karena aku delapan puluh persen bisa sembuh tanpa operasi. Dan soal penyakitku ini, baru Bagas yang mengetahuinya. Bang Reza dan kedua orang tuaku pun tidak tau. Aku masih memikirkan cara bagaimana cara menjelaskannya, atau mungkin lebih baik bila dirahasiakan saja.
Bagas adalah orang baik, meski aku baru mengenalnya dua hari. Karena dua hari itulah Bagas menjadi dirinya yang sebenarnya. Sam tidak menyangka Bagas bisa ramah dan perhatian kepadaku. Setahu Sam, Bagas adalah temannya yang paling dingin dan cuek diantara teman-temannya yang lain. Bagas adalah orang yang tidak banyak bicara dan tidak berperasaan. Namun, berbeda ketika Bagas bersamaku. Bagas bahkan rela dituduh sebagai pasanganku ketika aku diperiksa oleh dokter Obgyn. Astaga, lucu ketika harus membayangkan kejadian bersama dokter Obgyn.
Dokter Rahmi, adalah dokter muda yang mengira Bagas adalah kekasihku. Padahal ya begitulah, sulit juga bila harus dijelaskan lagi. Dokter Rahmi, merujukku untuk terus kontrol dan kosultasi dengan dokter Ryco. Dokter Ryco adalah teman kuliah dokter Rahmi, beruntung aku tidak perlu mencari dokter spesialis lagi di Bandung.
Kini kebiasaanku berubah seratus delapan puluh derajat. Yang biasanya aku makan makanan apa saja, sekarang harus memilih dengan detail apa-apa yang akan masuk ke tubuhku. Bila biasanya setiap pulang kuliah langsung tidur, sekarang harus ingat untuk selalu minum obat.
Tidak jauh berbeda dengan kebiasaan Sam di sana. Pasca operasi, ia harus memilih makanan yang aman dan masih mengkonsumsi obat, namun bedanya Sam pasti akan segera sembuh. Berbeda denganku yang masih cemas apakah harus dioperasi atau tidak.