Kalian percaya tidak kalau kata-kata itu memiliki kekuatan. Bisa untuk menyakiti dan bisa untuk membahagiakan. Namun, menurutku kata-kata adalah doa. Entah itu yang kalian tuliskan atau kalian ucapkan. Kata-kata memiliki energi yang membuatnya menjadi kenyataan. Tulisan-tulisan itu menjadi nyata. Ucapan-ucapan itu menjadi nyata. Itulah mengapa kita harus menggunakan kata-kata yang baik, agar kenyataannya baik juga.
Aku pernah menuliskan kata-kata biasa di selembar kertas kecil dan aku tempel di dinding kamar kosku. Kini kata-kata itu menjadi luar biasa hebatnya.
“Awal semester 7 Sabrina selesai skripsi!!!”
Tempelan kertas itu usianya sudah hampir tiga setengah tahun. Aku tulis ketika salah seorang dosen memberikan motivasi untukmahasiswa yang ada di kelasku. Motivasi darinya kubawa pulang dan menempelkan harapan di dinding kamarku.
“Bahagia banget!”
Kuliahku selesai cepat dan tepat. Orang tuaku sangat senang dan ingin segera menghadiri wisudaku. Padahal ya walaupun selesainya cepat, wisudanya tetap akan sesuai jadwal. Jadi ya sekitar lima bulan lagi aku akan wisuda.
Menunggu waktu wisuda, dosen-dosen menyarankan agar aku mulai mempersiapkan berkas untuk lanjut S2. Sayang memang lulus dengan baik namun tidak lanjut S2, bang Reza juga berkata begitu. Namun, aku adalah tipe orang yang segera ingin melepas beban. Entahlah, rasaku S2 memang memberatkan tubuhku, meskipunn otak dan finansialku jelas-jelas sangat mampu. Mungkin ada baiknya aku mencoba dunia kerja dulu. Aku mulai mencari kerja, ya meski belum mendapatkan ijazah.
Jadilah aku bekerja menjadi penyiar radio di salah satu stasiun radio swasta di Bandung. Bang Fajar yang memberitahukanku ada lowongan di sana, karena kefasihan bahasaku, oleh karena itu aku langsung diterima. Jujur saja, di skripsiku sedikit berisikan pikiran-pikiran dari bang Fajar. Meski dulu sempat renggang karena masalah perasaan, kini aku dan bang Fajar menjadi biasa saja.
Bang Fajar sangat baik dan penyayang, sampai akhirnya aku benar-benar menyesal telah mengecewakannya dulu. Aku menyesal terus berharap menjadi rumahnya Sam. Memang sejak aku menemani Sam ketika sakit dulu membuat kami dekat kembali hingga sekarang, tapi kedekatan itu jelas ada unsur lain. Unsur-unsur yang aku takutkan selama ini benar terjadi. Kekuatan kata-kata itu memang nyata. Bahkan ketika kata-kata itu hanya berada di dalam hati dan pikiranku pun akan menjadi kenyataan. Aku menyesal memikirkan kata-kata yang seharusnya tidak aku pikirkan. Seharusnya aku berhati-hati dengan kata-kata. Seharusnya pun aku berhati-hati juga dengan hati dan pikiran.
Beberapa waktu belakangan ini Bagas sekarang sering ke Bandung, katanya ada proyek keluarga yang sedang ia kelola. Entah mengapa bisa terjadi suatu kebetulan seperti ini. Aku tidak pernah bertanya proyek apa, lagi pula untuk apa juga aku mengetahuinya. Bagas sering menemuiku selama ia di Bandung, mengajakku makan malam dan menjemputku sepulang kerja. Katanya kebetulan dekat dan searah dengan rumahnya di Bandung. Bagas hebat, baru beberapa bulan di Bandung sudah memiliki rumah. Lah aku bagaimana? Tapi ya, setiap orang mempunyai waktunya sendiri. Mungkin belum waktuku memiliki rumah sendiri seperti Bagas. Lagi pula, aku akan kembali ke Pekanbaru dan menetap di sana. Aku ingin membayar waktuku yang habis tanpa keluargaku. Aku ingin menghabiskan hari-hari bersama papa, mama, dan mengganggu bang Reza.
Aku bekerja mendapatkan sif siang. Lima menit lagi menjelang magrib, aku akan segera pulang. Biasanya aku pulang dengan bus, namun sekarang aku harus menunggu Bagas. Cukup lama, sekitar 20 menit setelah jam pulangku Bagas datang.
“Lama ya? Sorry tadi ada yang harus gue selesai dulu.” Bagas memberikan helm yang selalu ia sediakan ketika menjemputku.
Aku memasang helm. “ Iya santai aja kali, yang ada aku yang gak enak ngerepotin kamu terus!”
“Kagak dah! Dah yuk naik!
Aku mengangguk. Motor Bagas mulai melaju. Menurut Bagas, jalanan di Bandung tidak jauh beda macetnya dengan Jakarta, beruntungnya Bagas dan motornya ahli mencari jalan tikus. Semakin sering bersama Bagas membuatku ingin tau tentang proyeknya. Bagas sangat hebat membagi waktunya untuk kuliah dan bekerja. Besok pagi Bagas akan kembali ke Jakarta.
“Lumayan lama akan kembali ke Bandung, jangan rindu ya!” ucapnya.
Bagas mengajakku makan sate kambing, sebagai pelunas hutang minggu lalu yang batal makan sate kambing karena Bagas membatalkan janjinya untuk menemuiku. Kami makan sate kambing yang berada tidak jauh dengan kampusku, tentu saja pedagang sate ini mengenaliku.