Benar perkataan papa dan mama bahwa waktu itu berputar cepat, hanya saja kita akan sadar ketika sudah menjauhinya. Sungguh sayang bila kita tidak pernah merasakan dengan benar apa-apa yang sudah terjadi dalam waktu kita. Papa dan mama selalu berpesan kepada aku dan bang Reza agar terus menghargai waktu dan apa yang terjadi di dalamnya. Alhasil inilah aku sekarang, bekerja di sebuah penerbit di daerah Jakarta.
Aku lulus dengan predikat cumlaude, hal yang menjadi momen haru dan bahagia. Hal terpenting yang harus ditanamkan adalah IPK tinggi bukanlah suatu kemenangan besar. Kita harus punya bakat, keahlian, dan keaktifan lain baik di bidang akademik maupun non akademik, karena dari itulah kita bisa belajar berproses untuk maju. Aku lulus lebih dulu dibandingkan dengan Sam. Sudah menjadi rahasia umum anak teknik panjang prosesnya untuk lulus.
Sewaktu acara wisudaku papa, mama dan bang Reza mempersiapkan perayaan khusus buatku. Yaitu makan bersama di dua belas restoran yang berada di Bandung. Restoran-restoran itu sudah termasuk dalam daftar tempat yang ingin aku kunjungi bersama mereka, hal itu jugalah yang menjadi penyemangatku dalam membuat skripsi. Bahkan bang Reza menunda meeting nya dengan perusahan yang baru bergabung dengan perusahaannya.
“Demi adek kecil tersayang, abang rela beri seluruh waktu abang!” gombal bang Reza yang masih melekat di telingaku.
Ada momen haru lainnya ketika wisudaku, tepatnya menjelang wisuda. “Sam kasian sama lo Sab. Tubuh lo yang lemah gini kenapa harus menderita sakit itu.” Dua kalimat Bagas masih terngiang dengan jelas di kepalaku. Kalimat yang menusuk hatiku yang ada Sam di dalamnya, sayangnya Sam tidak mati di sana. Kebodohanku yang pantas ditertawakan.
Sesuai janjiku kepada Bagas, aku tidak akan marah dengannya dan aku juga akan mengabari jadwal wisudaku. Dengan berat hati aku menjalankan janji itu, tapi mau bagaimana lagi, janji seperti tagihan yang harus dibayar. Rasa sakit masih melekat kepada dua lelaki yang sekelas itu. Bagas dan Sam, bisa-bisanya mereka ... Ah yasudah! Sakit banget kalau dibahas lagi.
Dua hari menjelang wisuda aku mengirimkan pesan singkat kepada Bagas.
“Haii, maaf jarang balas pesanmu. Soal jadwal wisudaku itu dua hari lagi, see u!”
Bagas menelponku setelah sepuluh menit pesan itu terkirim. Momen wisudaku adalah momen yang ia nantikan. Aku mengira itu adalah candaan belaka. Aku juga berpesan kepada Bagas untuk tidak mengabari Sam. Bagas berjanji.