Aku pernah iseng membeli biji bunga matahari di toko Mantra. Aku mendapat panduan dari Rio pelayan sekaligus pemilik toko itu. Aku membeli seplastik kecil yang berisikan dua puluh biji bunga matahari. Di minggu pertama aku menanam lima biji di wadah kecil yang Rio berikan. Aku menaruhnya di rooftop kos, dimana di sana juga terdapat kebun kecil pemilik kos. Ibu kos hampir setiap sore merawat koleksinya itu. Di hari ketiga, biji-biji itu mulai mengeluarkan tunas. Di hari ke lima, tunas itu mulai tumbuh dan ada yang sudah berdaun. Di hari ketujuh, semuanya mati.
Aku kembali berkonsultasi dengan Rio, katanya wadah itu terlau banyak air, jadinya biji yang akan segera tumbuh itu menjadi lembek dan membusuk. Aku menanam lima biji lagi. Di hari ke tiga biji-biji itu hilang. Mungkin di makan burung, ulat atau serangga. Aku menanam lima biji lagi. Delapan hari biji itu tumbuh dan sudah memiliki batang dan daun. Di hari kesepuluh batangnya sudah mulai panjang, aku memindahkannya ke polybag yang berukuran sedang. Sudah enam minggu, batang bunga itu mulai berisi dan mengeras. Di minggu ke delapan, bunga yang belum jadi itu tidak pernah jadi. Di minggu kedelapan daun dan batangnya layu, dan lama kelamaan mati.
Aku merasa kesal sendiri, berbulan-bulan menanam tapi tidak ada hasil. Nasibnya sama seperti kisahku. Ceritanya ku semai selama bertahun-tahun, ia terus tumbuh, namun bunganya tidak pernah mekar. Bunga yang aku harapkan tidak pernah ada. Sia-sia penantianku. Dan mulai sekarang mungkin aku harus mencari kisah yang lainnya. membiarkan kisah lama terbuang atau hanyut dalam keikhlasan. Harusnya perasaan aku untuk Sam mati, sama seperti bunga matahariku yang gagal itu. Namun, tameng yang kupasang hancur dihadang dengan bertubi-tubi permintaan maaf dari Sam.
Kalau dipikir-pikir lagi, perbandingan rasa sakit dan rasa senang yang kuterima adalah satu banding tiga . satu dari Sam, tiga dari papa, mama, dan Bang Reza. Aku berdoa, semoga Tuhan memberikanku jodoh yang sayang denganku, seperti sayang yang diberikan kedua orang tuaku dan bang Reza.
Seperti nasehat Bagas beberapa bulan yang lalu sebelum insiden yang mengecewakan itu. “Kita memang gak tau sekarang Sabrina, tapi percayalah yang ditakdirkan untuk kita pastilah baik untuk kita. Setelah lo berusaha, langkah selanjutnya lo minta sama Tuhan, lo juga harus berdoa Sab!”
Papa, mama dan bang Reza lebih dulu pulang ke Pekanbaru, mungkin aku akan menyusul seminggu lagi. Aku masih harus mengurus resign dari tempat kerjaku. Sambilan dengan itu aku juga meneruskan kerja dengan menjadi freelancer. Dengan keahliah ku mengetik dan mengedit mampu untuk membiayai kehidupanku menjelang pulang ke rumah yang sebenarnya. Aku juga menjadi content writer dan copywriter dibeberapa cafe, ya meskipun tidak ada kontrak kerjanya tetap saja penghasilannya lebih dari cukup.
Sam juga belum kembali ke Jakarta, tidak tau apakah dia sedang libur atau bolos kuliah. Sam selalu menungguku di depan pagar kosku hingga malam. Sudah tiga hari ia terus berada di sana, sesekali ia pergi ke warung atau ke gerai sate kang Ujang. “Sam bodoh!” umpatku mendapatkannya ketiduran di mobilnya yang jendelanya terbuka sedikit. Aku selalu menghindari Sam, selalu berlari dan berpaling ketika ia memanggilku, tapi melihat ia tertidur seperti itu membuat aku merasa bahwa aku adalah manusia jahat yang tidak ada rasa empatinya.
Sudah pukul setengah sepuluh malam, aku mengetuk kaca mobil Sam. Matanya masih saja menutup. Aku mulai bersuara, memanggil namanya.
“Sam ...” Masih belum ada sahutan darinya. “Sam Martaka ...” panggilku lagi.