Seharian ini aku sibuk ribut dengan pikiranku sendiri. Benar-benar melelahkan. Kuusap wajahku yang lembab, ku rapikan rambutku yang seharian kuikat. Seperti aku, rambutku mungkin juga perlu bernapas lega. Aku membasuh wajahku. Melihat diriku di cermin membuat lemas. Zizi memang lebih baik daripada aku, tapi bukan berarti aku tidak baik. Sungguh waktuku terbuang sia-sia untuk Sam. Beberapa hati ku patahkan hanya demi menunggunya. Ternyata aku dibutakan rasa, tak mau melihat apa yang sebenarnya tepat untukku.
Selesai berganti baju, aku pergi menemui papa dan mama. Mereka tengah asik menonton film kesukan mereka, kesukaan ku juga. Jackie Chan sangat lihai menangkas setiap serangan yang datang membahayakan dirinya. Aku duduk di tengah mereka, di samping papa dan mama. Mama menawarkan keripik singkong rasa balado miliknya. Aku menggeleng. Aku memeluk lengan papa dan mama, ku cium tangan mereka berdua. Papa dan mama pasti menginginkan aku bahagia. Sedari aku kecil itulah yang mereka lakukan untukku, memastikan aku tetap aman dan bahagia. Namun, aku malah menyakiti diriku sendiri. Papa dan mama pasti akan sakit juga bila tau apa yang menusuk di hatiku ini.
“Pa, ma, Sabrina janji akan membuat kalian bahagia. Kita akan berbahagia bersama, dengan bang Reza juga. Keluarga ini dibangun atas dasar bahagia, nanti akan berakhir bahagia juga, iya kan pa? Ma? Sabrina sayang sama papa dan mama, maaf sabrina pergi lagi. Nanti sabrina pulang membawa berlipat-lipat bahagia untuk papa dan mama.”
Aku menatap papa dan mama, ku sandarkan tubuhku ke mama. Seandainya mereka mendengar isi hatiku barusan, pasti akan ada banyak pertanyaan yang mucul di kepala mereka.
“Sabrina tidak akan mengecewakan papa dan mama” batinku lagi.
***
Aku kembali ke kamar. Kali ini aku menatatap sekeliling kamarku lebih lama. Tempat ini terlalu lama ku tinggal, mungkin ketika aku kembali nanti kamar ini harus direnovasi. Mungkin warna kamar ini juga harus diubah, terlalu banyak abu-abunya. Diberi sedikit warna jingga atau biru mungkin akan terlihat lebih segar.
Aku mengambil dua lembar kertas. Satu untuk ditulis, satunya lagi akan kujadikan amplop. Lalu ku buat surat yang panjang. Menggambarkan suasana hatiku malam ini saja. Yang baru saja mendapatkan dentuman raksasa. Tak ada cahaya, tak ada jalan. Semua runtuh. Semuanya berkabut. Kotanya seperti dilanda kiamat.
Seharian aku menyusun semua ceritanya. Menemukan apa yang salah dengan keberadaanku sekarang. Dari ratusan juta cerita cinta, ceritaku pasti tidak pernah diinginkan siapapun. Cerita yang pembacanya langsung berdoa agar dirinya tidak sepertiku. Cerita yang pembacanya mengkasihaniku. Cerita yang dari awal aku tau akhirnya seperti apa, namun aku tetap menjalankannya. Cerita yang bertahun-tahun terukir menyakitkan. Dengan lugunya aku tetap yakin kepada mimpi-mimpi yang tidak pernah turun ke bumi.
Pukul delapan malam. Aku mencari daftar tiket pesawat dengan waktu keberangkatan hari ini. Aku berkemas setelah mengakhiri suratku. Aku pamitan dengan bang Reza. Meskipun menjengkelkan, namun bang Reza sangat menyayangiku. Sama seperti papa dan mama, bang Reza juga selalu menjagaku dan memastikan aku tidak terluka oleh apapun.
Pernah sewaktu SMP aku dibully oleh segerombolan kakak kelasku. Mendapat kabar tersebut bang Reza dan temannya memberikan sesuatu yang berarti kepada mereka. Lagi pula di sekolahku dulu semua orang mengenali bang Reza sebagai gitaris yang pintar dan tampan. Ya, hanya saja mereka tidak mengenaliku sebagai adik dari idola mereka
Bang Reza mengintrogasiku sangat banyak. Mungkin karena mataku sembam. Aku bercerita sedikit, dan bang Reza paham betul apa yang terjadi. Bang Reza memelukku. Tangisku pecah, padahal aku belum bercerita banyak. Bang Reza tau bahwa esok adalah hari terburukku. Syukurlah bang Reza mengerti.
Selanjutnya, papa dan mama. Mereka tau besok aku akan ikut ke acara tunangan Sam. Untung bang Reza kali ini bisa diajak bekerja sama. Aku pamitan dengan papa dan mama. Aku berbohong mengatakan bahwa harus ke luar kota malam ini, karena ada meeting tentang proyek baru yang tidak bisa di tolak. Dalam hati aku terus meminta maaf karna telah membohongi papa dan mama. Hatiku sangat resah ketika berbohong. Namun mau bagaimana lagi. Aku tidak tau harus menjelaskan apa lagi. Papa akan marah besar bila aku berbuat seperti ini karena seorang laki-laki.
Aku pergi dengan taksi. Awalnya papa menyuruh bang Reza mengantarkanku, namun aku menolaknya. Di saat itu juga bang Reza mengaduh kesakitan. Perutnya sakit. Bang Reza berkedip kepadaku, aku tau bang Reza berusaha mengodeku.
Tujuan pertamaku adalah Sam. Jemariku masih menggengam erat amplop berwarna biru langit ini. Isinya adalah secarik surat yang sedikit lecek karena beberapa titik air mataku. Aku juga mengembalikan baju yang sengaja Sam belikan untuk ku pakai besok. Jarak rumahku dan Sam tidak terlalu jauh, jadi perjalanan terasa sangat cepat. Aku hapus air mataku yang menetes lagi.
“Pak, tunggu sebentar ya pak!”
Sopir taksi itu mengangguk.
Aku mengetuk pintu rumah Sam beberapa kali. Sial. Harapanku yang membukanya adalah orang tua Sam. Ternyata Sam langsung yang menyambutku. Wajah Sam tampak berbinar. Ia tersenyum lebar. Mungkin Sam tengah bereuforia, karena besok adalah hari bahagianya.
Tanpa basa-basi, tanpa menghiraukan pertanyaan Sam, aku langsung memberikan paper bag berwarna abu-abu ini kepada Sam. Warna yang pas dengan langitku sekarang. Sam langsung membukanya. Aku menahan.
"Eh Sam nanti aja bukanya. Aku buru-buru nih."
Sam mengerutkan dahinya. "Buru-buru kemana?"
Dadaku kembali sesak. Dengan sekuat tenaga kubendung air mataku. "Umm maaf ya Sam aku gak bisa hadir besok. Tadi atasan aku nelpon, katanya ada proyek besar yang tidak bisa di tolak. Jadi malam ini juga aku harus ke Jakarta. Aku minta maaf ya Sam."
Sam tidak lagi senyum, ia menatapku tajam. Aku tau dia akan marah.
"Maaf ya Sam, pliss maaf ya," mohonku.
"Tapi kenapa kamu? Kan ada orang lain yang nge-handle proyek itu. Atau biar aku yang telpon bos kamu?" Sam hendak masuk ke rumah, mungkin ingin mengambil ponselnya.
Aku menahan Sam, aku menarik lengannya. Spontan aku langsung memeluknya. Erat sangat erat. Kalah dan menangis.
"Maaf yaa Sam." Aku melepaskan pelukanku.
"Yaudahlah Sab, mau gimana lagi. Udah jangan nangis."
Aku masih menangis. Nanti setelah aku meninggalkan rumahnya, dia akan tau tangisku bukan karena tidak mendapat maaf darinya. Aku menyeka air mataku. Kami bersalaman. Aku melambai ketika taksi sudah mulai meninggalkan rumahnya.
Malam ini adalah malam kekecewaan untuk Sam. Mungkin Sam akan merasa jijik denganku. Mungkin Sam akan membenciku. Mungkin Sam akan menyesal bertahun-tahun mempercayaiku sebagai temannya. Mungkin Sam akan beruntung, karena tanpa diusir, aku telah pergi dari hidupnya. Masih sulit dipercaya bahwa esok Sam akan melangkah ke hubungan yang lebih serius dengan Zizi.
Malam ini, menuju kota pelarianku. Malam ini akan aku biarkan rasaku untuk Sam menyeruak hingga ketubuhku. Kubiarkan sesal dan kesal keluar dari tubuhku. Besok, sadarlah aku. Lupakanlah Sam. Ikhlaskan Sam Sabrina!