Jakarta, pukul 08.45 menuju Frankfurt, Jerman.
Jika terlalu lelah, istirahat dulu. Jika terasa tinggi, mungkin ada sesuatu yang harus direndahkan. Jika terasa penuh, mungkin ada sesuatu yang harus dikosongkan. Jika terasa berlebih, mungkin ada sesuatu yang harus dikurangkan. Jika terasa sesak, mungkin ada sesuatu yang harus dilonggarkan. Kini banyak hal yang aku rasakan, jadi akan banyak rasa yang akan aku lepaskan.
Dari tiga negara tujuanku, aku memilih Jerman sebagai tempat melepaskan semua pikulan yang memberatkan hatiku. Di Jerman aku tidak mengenal siapa pun, karena itu negara ini cocok untuk aku yang ingin lari dari semua yang ku kenal. Karena itu juga Bagas terus memohon agar dirinya diizinkan untuk menemaniku. Meskipun maksud Bagas baik, tetap saja kesal. Karna judul dari liburan ini adalah sebagai pelarian alias kabur, masa kabur bawa orang. Tema dari liburan ini juga ingin me time, masa me time bawa he atau she atau him. Setelah berdebat panjang di tempat sate kemarin, Bagas akhirnya menurut. Bagas membantuku mengurus segala keperluanku. Ia juga memberikan nomor ponsel temannya yang juga berada di Frankfrut, namun ya mungkin aku akan mengunjungi teman Bagas bila dalam keadaan darurat.
***
Pukul 10.15, Frankfurt.
Di Indonesia pukul sepuluh sudah hampir terik, berbeda dengan di Jerman sekarang ini. Entahlah mungkin juga karena musim dingin. Di Frankfurt aku menginap di sebuah hotel yang lokasinya strategis.
Siang nanti aku akan pergi menjelajahi Frankfurt bersama kenalanku di pesawat kemarin. Ternyata Tuhan teramat sayang denganku. Awalnya aku cukup gugup pergi ke luar negeri sendirian, karena ini juga adalah perjalanan pertama ku keluar negeri. Ketika aku berpikir Tuhan tidak pernah mengabulkan inginku, ternyata itu tidaklah benar. Tuhan memberikan apa yang aku butuhkan, dan mungkin keinginan itu bukanlah sesuatu yang aku butuhkan. Tuhan menghadirkan Ellin, wanita sebayaku, berkulit putih, berambut pirang, dan memiliki bola mata biru yang indah. Ellin juga sangat ramah, ia membantuku menemukan hotel ini kemarin.
Aku menunggu Ellin di depan hotel, tidak sampai lima menit Ellin datang.
Ellin mengalungkanku syal berwarna coklat. “For me?” tanyaku.
“Yes, brown, semanis kamu. Mari, nanti kita ketinggalan bis. Kita akan ke suatu tempat, kamu pasti suka.” Ellin fasih berbicara bahasa Indonesia, hanya saja aksennya sangat asing. Lucu saja mendengarnya.
Aku mengangguk, Ellin adalah wanita periang. entahlah, begitulah kesan pertamaku aku menemuinya hingga sekarang. Ellin juga ramah, tak heran banyak yang mengenalinya, dan sesekali menyapa Ellin ketika kami berjalan.
***
Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang hotel. Perjalanan hari ini benar-benar menyenangkan. Ellin mengajakku mencicipi makanan unik dan vegetarian yang ada di sini. Ia juga membawaku ke suatu museum yang tidak terlalu jauh dari sini.
Setelah membersihkan diri, aku membuka laptop. Ada banyak email yang masuk, padahal baru dua hari tidak mengeceknya. Aku tersenyum melihat nama si pengirim teratas. Ada banyak email darinya, aku membacanya dari atas.
“Baru kali ini bang Reza berkata rindu terhadapku.”
Semakin ke bawah ku temukan nama Sam di sana. Dadaku mendadak menjadi sesak, perutku turut menjadi tidak nyaman. Perlahan-lahan air mataku jatuh, membasahi keyboard laptopku. Semakin banyak ku baca email dari bang Reza semakin deras aku menangis.
Aku mengambil koper, sementara itu email dari bang Reza belum ku balas. Aku mencari ponselku yang sudah hampir seminggu tidak aku aktifkan. Ponselku terasa dingin, sejak meninggalkan rumah Sam aku menonaktifkannya. Untuk berkomunikasi dengan Bagas dan Bang Reza aku menggunakan email, bahkan aku meminjam ponsel Bagas untuk berpamitan dengan kedua orang tuaku. Menurutku, ponsel ini akan merusak pelarianku. Tanpa berpikir panjang aku mengaktifkan ponselku, pikiranku terasa buyar dan kacau. Perasaan bersalah lagi-lagi membenamkanku. Sial! Aku bisa stress di negara orang. Ponselku hidup sempurna, jaringannya mulai berkoneksi. Dua menit kemudian, banyak notifikasi yang muncul. Semua bertuliskan nama Sam Martaka, ia mengirimkanku pesan dari semua sosial media yang aku miliki. Ia mengirimkanku ratusan pesan yang membuat ponselku menjadi melambat.
Sebenarnya tujuan ku menghidupkan ponsel adalah untuk menghubungi bang Reza, aku menelponnya melalui whatsapp, tidak lama bang Reza langsung menerimanya. Ternyata situasi di sana benar-benar darurat.
“Lo gila ya! Seminggu hp lo gak lo idupin? Gue pikir lo ilang tau!”
Aku tidak menjawab, aku sedang dalam kondisi menangis, tapi perkataan bang Reza barusan membuatku ingin tertawa.
“Sabrina! Lo mau jadi adek durhaka apa ngebiarin abang lo ngomong sendiri.”
Aku masih terdiam menyusun kalimat yang tepat untuk menanyakan apa yang terjadi dengan Sam.
“Sabrina! Lo denger abang gak sih? Lo masih hidupkan?”
“Bang Reza apaan sih! Senang ya aku pergi ha?”
“Senang kepala lo senang! Lo bikin pusing sekeluarga!”
“Hmmm.”
“Lo udah baca semua email gue?”
“Mmmm udah, tapi aku masih ngga ngerti, coba jelaskan.”
“Dasar, percuma lulusan sastra Indo, itu aja gak ngerti!”
“Bang Reza!”
“Udah mendingan lo balik dah ke rumah. Kasian papa mama khawatir, mereka udah tau apa yang terjadi sama lo, mereka tau lo kaburkan ke sana. Dengan lo kayak gini berarti lo gak bertanggung jawab, masalah itu ada untuk diselesaikan!”