Tahun-tahun penuh dengan perasaan terpendam itu kini telah berakhir. Apapun yang mengganggu pikiran dan hatiku selalu aku bagi dengannya. Hari-hari penuh luka itu terbayarkan dengan memanen bahagia di sisa hidup aku dan dia. Tiga puluh hari ternyata berjalan cepat. Seluruh persiapan kami juga telah matang. Selama tiga puluh hari itu juga Sam melunaskan hutang penjelasan tentang semua kepingan cerita yang rampung.
Aku membaca tulisan Sam seminggu setelah menerimanya. Aku membaca tentang mengapa ia mengajak Zizi tunangan dulu, padahal ia bisa langsung menikahi Zizi. Aku teringat kala itu Sam membelikanku es krim coklat. Kini aku tau bahwa Zizi dan Sam dekat sejak kelas sebelas hingga tahun ini. Selama itu, tapi kemanisan yang Sam rasakan hanya setahun. ketika kelas dua belas, Zizi berubah. Ia tidak pernah menganggap keberadaan Sam. Sewaktu kuliah, Zizi juga sering meminta bantuan Sam untuk tugas-tugas kuliahnya, namun hanya sebatas minta bantuan. Sam selalu menunggu kabar dari Zizi, sementara Zizi terkadang bersikap tak acuh. Ketika Zizi wisuda Sam datang. Sam tidak pernah memberitahuku bahwa ia akan menghadiri wisuda Zizi di Yogyakarta, karena menurut Sam tidak ada gunanya juga aku mengetahuinya. Setelah itu Zizi mulai menggubris Sam. Terlebih lagi waktu itu Sam baru saja membuka dua cabang coffeshop, hal itu turut membuat Zizi bangga dengan Sam.
Tidak lama pasca wisuda Zizi, Sam meminta izin kepada orang tua Zizi untuk mengikat Zizi dengan ikatan pertunangan. Awalnya ayah Zizi tidak setuju, karena lebih baik bila segera menikah. Sam dengan jurus ngelesnya berkata bahwa ia akan menabung lebih lagi, padahal jelas tabungan Sam sudah sangat-sangat cukup untuk menikah, bahkan di hari itu juga Sam mampu mempersiapkan semuanya. Namun, jauh di hati terdalamnya, Sam tidak sepenuhnya yakin akan menghabiskan sisa hidup dengan Zizi. Zizi adalah wanita yang sempurna, tentunya banyak lelaki yang ingin memilikinya. Sam juga demikian, hasratnya sangat menggebu-gebu ingin memiliki perempuan sesempurna Zizi. Namun, di dasar hati Sam, ia tidak bisa hidup tanpa Sabrina, tanpa aku. Sam bisa dengan mudah menjalankan harinya meski diperlakukan buruk oleh Zizi, Sam masih bisa menjalankan harinya dengan fokus meski tanpa Zizi. Namun, Sam tidak bisa tidak memikirkanku. Tawaku, rengekku, dan tubuh imutku selalu melintas dipikiran Sam.
“Seperti halnya kita yang terbiasa sarapan, sekalinya nggak pasti perut ataupun aktivitas jadi nggak nyaman gitu. Gitu juga dengan kita. Terlalu lama bersama, jadi terbiasa dan inginnya bersama terus. Walapun udah nyoba untuk merubah itu, tetap aja gagal. Kita udah ditakdirkan bersama selamanya Sabrina!” lagi-lagi calon suamiku terus bersikap genit disetiap aku membahas kepingan cerita yang belum lengkap ini.
***
Waktu untuk menikmati hasil buah yang ditanam sudah tiba. Kini, sudah saatnya bangun dari mimpi untuk menjalani mimpi yang nyata. Menikah dengan Sam adalah mimpiku bertahun-tahun yang lalu yang sempat ku kubur dalam. Kini, aku kembali membongkarnya.
Perias pengantin terus memperhatikanku, merapikan apa-apa yang dilihatnya tidak enak dipandang. Mama juga sibuk meremas kedua tangannya. Padahal yang menikah adalah aku, namun tampaknya mama lebih gemetar. Aku berdiri dan berjalan ke arah mama yang duduk dipinggir tempat tidurku. Aku menatap seluruh kamarku yang penuh dengan dekorasi bunga-bunga. Terlalu ramai bunga, tapi ya sudahlah. Menurut orang yang dekor kamarku ini sudah yang paling sederhana.
Sesuai janjiku dulu kepada kamarku, bahwa aku akan merubah warna cat dan beberapa dekorasinya. Kini kamar ini jauh lebih cerah dan segar, apalagi sekarang ini ada dekorasi pengantin seperti ini. Aku juga menepati janjiku, yaitu membawa satu mahluk lagi untuk kamarku ini. Tidak disangka, semuanya benar-benar terjadi.
Aku meraih kedua tangan mama yang dingin. Mama menatapku, ia menyapu rintik-rintik keringat di keningku. Aku kembali menggenggam kedua tangan mama.
“Sahhh!” terdengar serentak suara orang-orang bergemuruh di luar.
Mama memelukku. Aku masih tidak mengerti. “Apa iya aku sudah menjadi istrinya?” batinku. Mama menampung kedua tangannya dan menunduk lama. Mama tampak merapalkan doa yang panjang untukku.