Hidup ada pasang surutnya, bagi seorang Alex, hidupnya terasa seperti bukit. Suatu saat dirinya berada diatas dan kemudian dia berguling ke bawah. Dia menyesali banyak hal di dalam hidupnya, tetapi tidak dengan putrinya. Bisa dikatakan dia melakukan kesalahan, dan kesalahan itu mengakibatkan putrinya hadir di dunia ini. Tidak ingin mengatakan bahwa putrinya adalah sebuah kesalahan, dia hanya menyayangkan cara putrinya datang ke dunia ini. Benci mungkin adalah kata yang tepat untuk wanita yang melahirkan putrinya.
Wanita itu bukanlah ibu yang baik, bahkan bukan seorang ibu di mata Alex. Penyesalan, itulah yang dia rasakan tentang wanita itu. Dia hanyalah pria bodoh yang salah memilih orang, salah besar. Alex berharap dirinya bisa memutar kembali waktu, tetapi kemudian dia tidak akan bertemu putrinya.
Emily berusia sembilan tahun, putri yang begitu berharga untuk Alex. Dia tampak seperti ibunya, tetapi bertingkah seperti ayahnya. Emily tidak tahu apa-apa tentang ibunya, dia hanya mengetahui bahwa ibunya tidak pernah ada di dalam hidupnya. Itu menyedihkan. Namun, jauh di lubuk hati Emily, dia tidak peduli. Sepanjang hidupnya, Emily hanya mengenal ayahnya. Memang orang tuanya terbilang tidak lengkap, tetapi ayahnya saja sudah cukup. Meski begitu, dia akan merasa senang jika memiliki seorang ibu.
“Bagaimana sekolahnya, Tuan Putri?” tanya Alex saat Emily baru saja keluar dari sekolah.
“Tidak ada yang menarik,” jawab Emily yang terlihat sedih, tetapi dia berusaha menutupi hal itu. “Apakah kita masih jadi pergi ke toko es krim? Karena aku sudah tidak sabar seharian.” Emily sama sekali tidak ingin membicarakan tentang sekolah dan Alex mengerti itu.
Alex tertawa terbahak-bahak, mencoba mengubah suasana hati Emily. “Benarkah, Tuan Putri?”
"Ya! Hanya itu yang aku pikirkan hari ini!” ucap Emily dengan penuh semangat.
"Bagus. Ayolah, Putri Kecil Ayah.”
Sesampainya di toko es krim, Emily terlihat begitu bahagia. Dia tidak bisa berhenti tersenyum dan menggumamkan kegembiraannya. Emily memesan es krim kesukaannya, yaitu rasa stroberi. Alex sendiri memesan es krim rasa vanilla. Saat mereka duduk, Emily tidak bisa berhenti menendang-nendang kakinya di bawah meja, sambil memakan es krim. Dia merasa sangat bahagia dan terus mengatakan kepada ayahnya betapa bahagia dirinya.
Alex senang putrinya terlihat begitu bahagia. Dia membawa Emily ke toko es krim bukan tanpa alasan. Alex ingin menyampaikan kabar yang cukup besar kepada Emily. Alex pikir Emily mungkin akan marah padanya, jadi dia membawa Emily ke tempat kesukaannya. Dia mengetahui Emily tidak akan marah saat merasa begitu senang, mungkin hanya sedikit kesal.
“Jadi, Tuan Putri, Ayah ingin membicarakan sesuatu,” ucap Alex, sedikit gugup.
“Ada apa, Ayah?” tanya Emily. Namun, dia tetap fokus kepada es krim miliknya.
“Jadi, Ayah baru saja mendapat pekerjaan baru.”
“Apakah Ayah akan menjadi bos?”
Alex berdehem. “Tidak, tapi ini pekerjaan yang lebih bagus.” Emily sedikit kecewa karena ayahnya tidak akan menjadi bos. “Tapi, pekerjaan baru ini ada di kota lain. Jadi, kita akan pindah.”
"Apa?! Di mana? aku suka di sini,” ucap Emily, terlihat sedikit terkejut. Dia bahkan berhenti memakan es krim miliknya.
Alex tampak sedikit bingung. “Ayah pikir kamu benci sekolah kamu. Kamu berkali-kali memohon pada Ayah untuk memindahkan kamu ke sekolah lain.”
Emily berpikir sejenak. Memang benar, dia membenci sekolahnya. Tidak banyak orang yang mau berteman dengannya. Tidak lupa, Emily tidak menyukai sebagian besar guru yang berada di sekolahnya sekarang. Emily sudah lama memohon untuk pindah sekolah, tetapi ayahnya selalu mempertimbangkan hal itu. Emily pikir pergi ke luar kota terlalu berlebihan hanya untuk pindah sekolah. Selain sekolah, dia menyukai segalanya di sini.
“Mengapa pindah kota? Apakah Ayah tidak ingin tinggal di sini?” Emily mencoba mengerti alasan ayahnya.
“Ayah ingin, tapi tawaran pekerjaan ini sungguh bagus. Lagi pula, Tuan Putri, kamu tidak merasa senang di sekolah. Selain itu, kita akan lebih dekat dengan nenek dan kakek karena kita akan pindah ke kota yang sama dengan mereka,” ucap Alex.