Dua hari berlalu dan Catherine tidak berhenti mengganggu Alex hingga Alex merasa pikirannya penuh dengan Catherine. Alex merasa begitu tidak berdaya dengan semua ancaman yang Catherine berikan. Setiap kali Alex bertemu dengan Catherine, dia merasa hidupnya akan dihancurkan oleh bayi itu. Jika Alex membiarkan pikiran jahat mengontrol dirinya, dia akan membuat bayi itu hilang. Namun, Alex bukanlah orang seperti itu. Dia hanya tidak tahu harus melakukan apa.
Seharian Alex mengurung dirinya di kamar dan enggan keluar sama sekali. Hari ini Catherine belum mengganggunya sama sekali. Alex hanya berdiam diri menunggu Catherine menelepon dan mengulangi ancamannya. Dia tidak mengerti mengapa Catherine begitu kukuh dengan hal ini. Alex mengetahui Catherine ingin anaknya memiliki ayah. Namun, Alex merasa ada hal yang lebih dari itu.
Tak lama telepon rumah berbunyi dan Alex langsung berlari untuk mengangkatnya. Benar seperti dugaannya Catherine menelepon rumahnya. “Apa yang kamu inginkan?” tanya Alex yang berusaha mengakhiri panggilan tersebut karena ibunya akan segera pulang.
“Apa kamu sudah memberi tahu orang tuamu?” Alex menghela napas karena Catherine bertanya pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya.
“Bisakah kamu bersabar? Kamu harus ingat saat bayi itu lahir aku ingin tes DNA,” jawab Alex yang merasa kesal.
“Aku akan melakukan itu, tapi kamu harus bilang kepada semua orang tentang bayi ini, termasuk pacar murahan kamu itu!” pinta Catherine yang terdengar tidak masuk akal untuk Alex. “Aku ingin kamu bertanggung jawab! Titik.”
Alex merasa begitu muak dengan semua ini, di dalam lubuk hatinya dia berharap agar bayi itu tidak selamat. Alex mengetahui bahwa dirinya terdengar seperti lelaki brengsek, dia berusaha untuk mengikuti apa yang Catherine inginkan untuk kebaikan bayi itu. Namun, Catherine selalu terdengar di luar nalar bagi Alex. Alex tidak tahu apakah Catherine benar-benar kehilangan akalnya atau dirinya yang tidak bisa menerima kenyataan.
“Dengar, Catherine. Kamu berselingkuh lalu kamu hamil, dan kamu berharap aku akan percaya bahwa itu adalah anakku. Apa kamu tidak menggunakan otakmu? Apa otakmu terlalu kecil? Semua orang tahu apa yang kamu lakukan dan aku mempunyai bukti akan hal itu. Siapa pun yang tahu tidak akan memercayai kamu. Jadi, diamlah dan biarkan aku mengurus semua ini!”
Catherine tidak membalas ucapan Alex dan langsung mematikan panggilan itu. Saat mengetahui itu Catherine memutuskan panggilan, Alex langsung melempar telepon genggam ke lantai. Dia merasa begitu lelah dengan wanita itu. Dia tidak tahu apa yang Catherine sebenarnya inginkan, dan itu membuat pikiran Alex hampir kehilangan akalnya. Rasanya Alex ingin memukul seseorang untuk meluapkan emosinya dan rasa kebingungannya. Tanpa dia sadarkan air mata keluar dari matanya.
Saat Alex berbalik untuk kembali ke kamarnya, dia melihat ibunya yang sudah berdiri di belakangnya sejak tadi. Alex dengan cepat langsung menghapus air matanya, dia berusaha berlaku normal seakan dia tidak merasakan semua emosi yang baru dia rasakan. “Ah, Mama sudah kembali. Aku baru saja it—” Belum selesai Alex berbicara ibunya langsung memeluknya.
“Bisa kamu jelaskan apa yang kamu maksud dengan anak?” tanya Emma yang langsung melepaskan pelukannya.
“Maafkan aku, Ma,” jawab Alex yang merasa telah menjadi hal mengecewakan untuk orang tuanya. Emma langsung menarik anaknya untuk duduk di sofa dan membiarkan Alex tenang terlebih dahulu. Setelah Alex tenang, Emma baru duduk di samping Alex dan menggenggam tangan anak satu-satunya itu. Emma sudah siap dengan hal yang akan keluar dari mulut Alex.
“Bilang kepada Mama, Mama tidak akan marah selama kamu tidak melakukan hal kriminal,” ucap Emma dengan tenang.
“Catherine hamil,” balas Alex yang membuat Emma terkejut. Namun, Emma berusaha tidak menunjukkan hal itu. “Dia mengatakan itu adalah anakku, tapi aku tidak mempercayainya. Namun, dia terus memaksaku memberi tahu semua orang dan mengakui bayi itu. Aku tidak ingin melakukan hal itu. Aku tidak ingin berhubungan dengan Catherine lagi, aku melihat dia sebagai kesalahanku.”
“Bagaimana jika bayi itu benar-benar anak kamu? Apa kamu akan bertanggung jawab?” Alex langsung melihat ibunya dengan tatapan yang begitu tegang. “Jawab Mama, Alex.”
“Tentu saja aku akan tanggung jawab. Namun, aku tidak menginginkan bayi itu. Catherine bahkan mengancam akan memberi tahu Darcy dan aku tidak ingin hal itu terjadi.”
“Mengapa? Kamu dan Darcy adalah pasangan, dan pasangan harus jujur satu sama lain.”
“Aku tidak ingin menyakiti hati Darcy. Aku mencintainya.”
Emma menghela napas. “Alex, hal ini bukan hanya soal Darcy. Mungkin hal ini akan terdengar jahat. Namun, kamu harus memikirkan nasib anak yang ada di kandungan Catherine. Jika anak itu benar-benar anak kamu, kamu harus mendiskusikan bagaimana kamu akan membesarkan anak itu bersama Catherine. Mama tahu kamu membenci Catherine, tapi anak itu juga membutuhkan seorang ayah. Untuk Darcy, kamu harus jujur kepadanya.”
Alex langsung memeluk ibunya dan menangis, entah mengapa dia merasa begitu takut. Dia takut hidupnya akan hancur karena hal ini. Di saat dia berusaha memperbaiki hidupnya dan meninggalkan semua hal buruk yang pernah dia lakukan, hal seperti ini muncul di hadapannya. Alex merasa tersesat dalam kesalahan yang pernah buat. Bagi Alex, bayi itu adalah kesalahan besar dalam hidupnya.
“Sudah-sudah jangan menangis,” ucap Emma sambil mengelus-elus pundak Alex. “Sekarang pikiran apa yang akan kamu lakukan. Jangan jadi pengecut dan terus menghindar.”
Alex melepas pelukan dan menghapus air matanya. Dia berusaha menemukan solusi terbaik untuk dirinya. Dia mungkin terdengar seperti orang yang egois saat ini, hanya memikirkan hal yang tidak merugikan diri sendirinya. Tidak sekilas pun Alex memikirkan kondisi Catherine yang jelas-jelas mengandung anak di dalam perutnya. Mungkin Alex memang egois dan dia tidak akan mengubah pikirannya.
***