Suatu waktu, Jihan pernah berharap tentang keinginannya untuk lenyap dari dunia ini. Karena baginya, seluruh dunia sangat gelap, mata yang berair karena menangis di setiap malam tidak membuatnya lebih baik, justru sebaliknya, Jihan begitu takut. Takut akan esok hari yang membuatnya kecewa, takut jika semuanya tidak baik-baik saja, dan takut atas kemungkinan tidak terduga yang terjadi di hari selanjutnya.
Meringkung di atas kasur membiarkan perasaan sedih menguasai dirinya, entah saat ini sudah malam keberapa Jihan masih merasakan kesedihan atas kepergian orang-orang tersayangnya. Apakah semesta tidak tahu tentang perasaannya yang begitu menyedihkan? Jika boleh Jihan berkomentar, maka kalimatnya berisi tentang semesta yang bekerja sangat mengecewakan.
Sulit berdamai meski pikiran berusaha untuk mengikhlaskan. Kehilangan orang-orang tersayang apalagi untuk selamanya bukanlah hal mudah, terlebih Jihan tidak punya penguat selain dirinya sendiri. Hampir dua tahun hidup sendirian tanpa teman dan keluarga, perlahan telah membuatnya berubah.
Jihan telah kehilangan dirinya yang dahulu, hidup layaknya sebongkah robot yang tidak punya hati. Karena hal apa lagi yang Jihan tunggu di dunia ini, selain kematian? Dan beberapa bekas luka sayatan di pergelangan tangan adalah bukti sesungguhnya, jika dia membenci dirinya sendiri.
Jendela kamar yang dibiarkan terbuka, mempersilakan angin malam masuk hingga membuatnya kedinginan. Jihan tidak peduli, meski angin bisa membuatnya sakit namun angin adalah satu-satunya tamu dengan suka rela mampir ke dalam rumahnya yang tidak bernyawa.
Dahulu, rumahnya itu penuh dengan warna, maksudnya penuh dengan berbagai macam suasana dan perasaan. Contohnya ketika Jihan memenangkan olimpiade, saat Jihan pulang ke rumah ibu adalah orang pertama yang menyambutnya dengan pelukan hangat serta ucapan selamat, lalu pada malam harinya saat ayah pulang bekerja, ayah juga mengucapkan selamat sembari memberinya hadiah.
Lalu saat Jihan menangis karena mendapat perlakuan buruk dari teman-temannya, orang tuanya selalu ada untuknya, menghiburnya dengan berbagai macam cara agar dirinya bisa senang kembali. Dan di setiap tahunnya, saat dirinya ulang tahun selalu ada perayaan di rumah ini meski sekadar kue tar dan satu kado saja.
Rumah yang Jihan tempati begitu banyak memori masa lalu tersimpan, mungkin jika memori tersebut berbentuk sebuah compact disc di setiap malamnya yang gelap, dia akan duduk terdiam di depan televisi untuk menonton memorinya berulang kali, karena setiap saat Jihan selalu merindukan orang tuanya.
Rumah yang menjadi alasannya untuk segera pulang saat sekolah, bukan lagi rumah yang dia tunggu di penghujung detik-detik saat kepulangannya dari kampus maupun tempat kerja. Rumahnya yang nyaman, tidak senyaman dahulu. Suasana rumah ini benar-benar berubah, rumah yang dahulu membahagiakan, tidak lagi dirasakan.
***
Jihan melangkahkan kakinya, memasuki minimarket dekat rumahnya yang berada di ujung jalan. Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam dan saat ini masih banyak orang-orang berkeliaran, ada yang menggunakan kendaraan maupun melangkahkan kaki seperti Jihan.
Perempuan itu mempunyai alasan untuk mampir sebentar ke minimarket, membeli kebutuhan wanita jika kedatangan tamu bulanan. Pertama stoknya sudah habis dan kedua menurut perhitungan kalendernya tamu bulanannya akan datang tiga hari lagi, lalu menginap selama enam sampai tujuh hari di dalam tubuhnya.
Karena minimarket cukup ramai, Jihan harus menunggu beberapa saat karena beberapa orang sempat menghalangi jalannya, dan sampai lah dia berdiri di depan rak bermacam-macam pembalut wanita untuk membeli salah satunya.
"Hei, Jihan!"
Suara seseorang yang menyebut namanya membuat Jihan menoleh, sosok asing yang memberinya bunga hawthorn tadi siang menunjukkan dirinya di hadapan Jihan sambil memamerkan senyuman lebar.
"Enggak nyangka, ya. Kita ketemu lagi." Begitu katanya seraya terkekeh pelan atas pertemuan tanpa disengaja antara dirinya dan Jihan.
"Mau beli apa?" Natha bertanya, namun dua detik kemudian dia tersenyum simpul dengan menggaruk belakang kepalanya meski tidak gatal. "Enggak usah dijawab, saya udah tahu kok kamu mau beli apa."
Dirinya merasa malu sendiri, jelas saja. Untuk apa Natha bertanya jika perempuan itu sedang berdiri di depan rak dengan tangan yang terjulur mengambil pembalut wanita.
Jika Jihan hanya membeli kebutuhan wanita, maka Natha membeli satu bungkus kuaci serta minuman kopi dalam kemasan botol. Keduanya keluar dari minimarket secara bersamaan, tapi di sini Natha sengaja mengikuti langkah Jihan dengan maksud menemaninya pulang.
Jihan yang menyadari atas eksistensi Natha langsung menghentikan langkahnya, dengan salah satu alis yang terangkat sedikit, Natha juga ikut menghentikan pergerakan langkahnya.
"Kenapa berhenti? Ada yang lupa dibeli, ya?"