Sendirian, diam. Apakah hal itu sulit dilakukan? Jika bukan karena takdir yang mengubah segalanya, maka jawabannya sama sekali tidak. Baik sendirian atau bersama orang lain, kesepian tetap terasa sama. Karena kesepian itu terciptalah sebuah harapan kecil di hatinya tentang kesepiannya yang segera berakhir. Bukankah seharusnya semua terjadi seperti apa yang dipikirkan? Bahkan berdiam diri di bawah pohon rindang seraya mengambil napas dalam-dalam, tidak bisa membuat segalanya lebih mudah. Ingin berhenti menangis dan membuang perasaan sedihnya, apakah bisa? Jika bisa membuangnya dengan mudah tolong beri tahu caranya.
Jihan tidak tahu kapan dirinya akan berhenti menangis pada tengah malam lalu menggantikannya dengan senyuman, lebih memperhatikan maupun peduli pada diri sendiri. Entah sudah berapa banyak malam penderitaannya yang tidak terhitung jumlahnya. Apakah bisa, untuk malam ini dirinya tidak larut pada kesedihan yang amat mendalam? Apakah penting, pada malamnya sebelum tidur membandingkan siapa yang lebih terang di antara bulan dan bintang atau bintang dan bulan?
Langkah kakinya telah dipenuhi oleh luka. Apakah Jihan harus menyembunyikan dirinya setiap hari karena tidak ingin menambah luka? Entah kenapa, Jihan merasa kasihan pada dirinya sendiri. Separuh kebohongan dan separuh kebenaran, kehidupannya sekarang telah diisi oleh dua hal tersebut.
Teramat sangat, dirinya benar-benar lelah. Namun, yang bisa dia lakukan sebatas menerima tanpa bisa menolak. Tersesat pada masa lalu, tenggelam dalam kesendirian, dan kesedihan mengalir di wajahnya karena telah kehilangan sesuatu yang tidak dapat tergantikan dalam hidupnya. Kehilangan kebahagian, impian, cinta, serta orang-orang tersayang. Apakah ada hal yang lebih buruk lagi?
Berharap suatu saat nanti, akan ada cahaya amat terang akan menuntun arah impiannya, menguatkan dirinya, dan mengembalikan hampir semua dirinya yang menghilang. Sebelum memejamkan mata, helaan napas terdengar, Jihan menarik guling di sampingnya untuk dipeluk erat. Malamnya masih sama, ditemani oleh kegelapan, kesunyian, kesendirian, serta luka-luka tentang masa lalunya yang belum juga menghilang.
***
Jihan terbangun dari tidurnya yang singkat saat dering ponselnya berbunyi, meraba nakas di samping ranjang untuk mengambil benda elektroniknya yang makin berisik. Meski kesadarannya belum sepenuhnya datang, dengan mata yang menyipit jari-jari tangannya bergerak menekan tombol merah pada layar ponselnya. Sebelum menekan tombol merah Jihan sempat membaca siapa si penelepon yang terpampang jelas di layar ponselnya. Namanya Lusi, rekan kerja Jihan di toko bunga. Dan entah Jihan tidak tahu tujuan Lusi meneleponnya lagi pula perempuan itu tidak peduli.
Satu panggilan masuk, dengan sengaja ditolak olehnya. Lantas ponselnya yang berwarna hitam itu, kembali Jihan letakkan di tempat semula. Dan perempuan itu kembali memejamkan mata, semakin mengeratkan pelukannya pada guling di sebelahnya untuk kembali melanjutkan tidurnya yang sempat terjeda.
Saat ini memang sudah pagi, tapi Jihan masih punya waktu sekitar satu jam setengah lagi untuk bergegas datang ke kampus. Selain sibuk dengan urusan sendiri, tidur adalah cara lain yang bisa membuatnya tenang karena saat tertidur Jihan akan terlupa oleh masa lalunya yang telah memberinya luka tanpa darah. Masih dengan mata yang terpejam, dirinya mendengkus lantaran ponselnya kembali berteriak.
Memang, tindakannya itu bisa dibilang menyebalkan. Sebab baginya, mendapat telepon di pagi hari seperti ini dan mengganggu tidurnya benar-benar membuatnya kesal. Karena ponselnya masih berdering Jihan mengambil benda tersebut dan melakukan hal sebelumnya, yaitu menolak panggilan telepon tersebut dan berusaha untuk kembali tertidur.
Omong-omong, alasan lain Jihan menolak panggilan telepon tersebut karena dia tidak ingin mengakrabkan diri dengan orang lain, meski hanya satu orang. Setelah kejadian di masa lalunya Jihan jadi menutup dirinya rapat-rapat, tidak membiarkan satu orang pun masuk ke dalam hidupnya, karena Jihan sudah lelah menerima kesedihan serta rasa sesak di dada akibat kehilangan. Sudah cukup Jihan menerimanya, dia tidak mau menerima hal menyakitkan lagi. Setelah kehilangan orang tuanya dia juga harus kehilangan teman sekaligus kekasihnya.
***
Jihan berjalan dengan langkah terburu-buru, akibat lupa menyalakan alarm membuat dirinya terbangun di jam yang berdekatan dengan kelas pertamanya dimulai, kurang dari dua puluh menit Jihan harus sampai di kampus. Karena langkahnya terburu-buru dan pandangannya tidak fokus ke depan melainkan fokus pada buku-buku dan dompet yang ada di tangannya, Jihan sampai tidak menyadari jika di kelokan tembok, dirinya menabrak seseorang, tapi untung saja tidak sampai membuat buku-buku di tangannya berhamburan hingga menyentuh lantai, namun ada hal yang tidak Jihan sadari, jika dompetnya terjatuh. Karena seseorang yang dia tabrak memiliki postur tubuh lebih tinggi darinya, Jihan harus mendongak bertujuan untuk meminta maaf kemudian bergegas pergi menuju kelas.
"Maaf, tadi saya nggak--"
Ada dua alasan kenapa Jihan tidak melanjutkan ucapannya. Pertama karena Jihan cukup terkejut dengan seseorang yang tidak sengaja dia tabrak, maksudnya bagaimana bisa orang itu berada di sini? Dan kedua karena seseorang yang berdiri di hadapannya sambil tersenyum itu telah memotong ucapannya.
"Enggak sengaja? Iya, nggak apa-apa. Udah saya maafin kok." Di akhir kata laki-laki itu terkekeh, omong-omong seseorang yang berdiri di hadapan Jihan adalah Natha, sesosok laki-laki asing yang memberinya bunga juga menemani Jihan pulang setelah dari minimarket secara diam-diam, meski ujungnya Jihan mengetahuinya.
Jihan masih bergeming, sedangkan laki-laki itu malah melambaikan tangannya beberapa saat untuk menyapa, dan memperlihatkan seulas senyumnya. "Hai! Saya nggak nyangka bisa ketemu lagi sama kamu di sini tanpa sengaja. Seperti sebuah kebetulan yang sudah ditetapkan, ya?"