Dunia Evan
Aku terperanjat, aku benar-benar tidak menduga Winda akan mengatakan hal seperti itu padaku. Aku... terluka.
Meski bibirku tersenyum, aku tetap tidak dapat menyembunyikan lukaku yang dapat terlihat sangat jelas di mataku. Winda, kamu kenapa? Aku yakin dia sedang ada masalah, sehingga bisa berkata seperti itu padaku. Biasanya meskipun ia merasa terganggu dengan ulahku, ia tidak pernah semarah ini. Apalagi sepertinya aku melihat ada rasa takut pada matanya. Kenapa? Dia sedang kenapa?
"Sabar, Bro, mungkin sedang PMS dia," kata Ucok merangkul bahuku.
"Tahu nih, Evan! Nggak usah dipikirin lah si Winda. Emang produksi dari pabriknya kali begitu. Udah yuk, kita ke kantin. Udah ditungguin anak tim nih, mau makan-makan kita," kata Dimas tidak peduli.
..................
"Rame banget nih kantin, balik ah," kataku sambil membalikkan badan.
"Eh ... eh ... mau kemana kau? Yang namanya kantin memang ramai sejak dahulu kala. Yang sepi itu hati kau! Lagian kau punya tampang ganteng tidak kau manfaatkan, kalau aku sudah aku manfaatkan sebaik mungkin dengan menggaet perempuan-perempuan cantik," ujar Ucok menahanku.
"Jelas rame lah, Van, itu anak-anak satu tim lagi ngumpul semua buat makan-makan. Kenapa sih lo? Kepikiran kata-kata Winda ya?" Dimas menatapku tidak suka.
Ya... jujur aku memang kepikiran kata-katanya.
'Bodoh banget sih hati gue, yang nggak pernah mau berhenti sayang sama dia. Padahal bener kata dia, perempuan lain yang jauh lebih baik dari dia banyak, tapi hati gue yang dodol ini cuma mau dia. Akhh....' Aku mengacak-acak rambutku sendiri.
"Hei ... kau kenapa, Van? Kau tidak mulai gila kan?" Ucok langsung menenangkanku.
"Lo tuh yang gila," ucapku kesal.
"Aku? Aku? Kenapa malah aku yang gila? Perasaan aku tidak berbuat apa-apa," kata Ucok bingung.
"Hahaha ... udah friend jangan dengerin Evan. Dia lagi kacau!" Dimas langsung merangkul bahu Ucok.
"Kenapa dia kacau, Dim? Memang balon hijaunya baru meletus, makanya dia kacau?" Tanya Ucok tanpa dosa. Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan horor.
"Huahaha ... kalau Evan sih bukan balon hijaunya Cok yang meletus, tapi hatinya. Hahahaha ...." Dimas tertawa terpingkal-pingkal.
Di kantin, sebelum merayakan kemenangan tim dengan makan-makan seperti biasa, mereka malah foto-foto dulu satu tim dengan piala yang didapat. Aku udah mulai bete, ingin cepat-cepat sampai rumah dan menenggelamkan wajahku di kasur. Itu jauh lebih baik daripada di sini, hatiku sedang kacau dan pikiranku sedang ke mana-mana. Aku benar-benar tidak fokus.
"Evan, kau sedang apa di pojokkan seperti itu? Mari kau ikut foto-foto dengan kami. Tampang kau seperti kucing tidak di beri ikan saja. Kemari, Nak, jangan buat bapak kecewa." Ucok menatapku dengan tampang kasihan.
"Tadi kan udah foto-fotonya! Foto-foto mulu lo kayak mimi peri." Ujarku sengit. Sontak teman-temanku yang lain langsung menertawakan Ucok.
"Udah-udah, sekarang terserah deh mau lo apa, Van. Nggak sanggup kita-kita ngeladenin lo. Cuma karena cewe lo jadi begini amat. Tuh liat, ngapain lo jongkok-jongkok di pojokan gitu? Mengenaskan banget hidup lo." Dimas malah menantangku.
"Gue mau pulang aja," kataku tidak bersemangat.
"Yaudah sono pulang, siapa tau lo di luar ketemu princess Elsa alias Winda. Haha ...." Dimas melempar tasku seraya tertawa.
"Kenapa kau bilang Winda itu Elsa Dim? Aku tidak mengerti?" Ucok keheranan.
"Iya Elsa sama Winda kan sama-sama perempuan es. Bekuuuu!! Haha ...."
Aku tidak menanggapi kata-kata Dimas lagi. Yang kuinginkan cepat-cepat pulang dan ingin sendiri saja di kamar.