Can't Stop

Siti Soleha
Chapter #7

Papa, Aku Terluka

Dunia Winda

   Aku diam saja selama dibonceng oleh Evan. Evan juga yang biasanya selalu ceriwis malah diam seribu bahasa. Mungkin dia menghargaiku, atau mungkin dia sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikirannya. Kenapa aku bisa ada di tengah jalan, sambil menangis dan membawa motor Risa dalam keadaan rusak. Tapi apapun itu, aku menghargainya. Aku sama sekali sedang tidak ingin ditanya-tanya saat ini.

"Di cafe ini, minumannya coklatnya terkenal enak banget. Apa mau disini? atau lo punya refensi lain?" Tanyanya seraya menghentikan motornya.

   Aku mendongak ke arah cafe. Ah, iya, cafe ini adalah cafe favoritku. Minuman coklatnya terkenal enak memang. Aku menggeleng merespon pertanyaan Evan.

"Oh yaudah, kalau gitu kita kesini aja ya."

  Aku mengangguk pelan, Evan menghentikan motornya di tempat parkir. Ia meminta helmku dan mengajakku ke tempat penitipan helm. Setelah selesai, aku dan dia langsung masuk ke dalam cafe. Konsep cafe yang tidak biasa dan sepi membuatku sangat nyaman sekali. Setidaknya aku tidak harus mendengar hingar bingar yang malah membuat kepalaku semakin pusing.

"Mau makan apa?" Tanyanya setelah kami melihat-lihat buku menu.

"Nggak usah, minum aja," kataku singkat

"Yah, jangan gitu dong, gue kan emang udah janji buat traktir lo. Karena lo nonton pertandingan gue, gue jadi semangat dan bisa menang deh." kata Evan dengan senyuman lebar.

"Setelah gue permaluin lo habis-habisan di lapangan tadi, lo masih inget janji lo?" Aku memicingkan mataku menatapnya sinis.

  Tolong... jangan terlalu baik kepadaku....

"Permaluin yang mana? Gue udah lupa tuh!" Katanya mengangkat bahu.

Bohong... dia bohong.

"Mau makan apa? Gue yang pesenin aja deh, lo lama ... guenya udah laper. Nasi goreng mau? Eh jangan deh, steak kali ya?" Evan terus saja berceloteh dengan tampang ceria.

  Aku menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya. Kemana rasa terlukanya yang tadi terlihat jelas di matanya?

   Aku tidak menjawab kata-katanya. Dia terus sibuk memesan kepada pelayan cafe dan aku hanya bisa diam mematung.

"Lo tadi kenapa? Kenapa ada di tengah jalan sambil nangis gitu? Ada yang lagi ngerjain lo?" Matanya tajam menatapku, aku hanya bisa menundukkan wajahku lebih dalam.

 Akhirnya, ia menanyakannya lagi.

"Nggak."

"Nggak apa?" Evan terus mendesakku.

"Nggak mau bahas," Kataku dengan sedikit penekanan.

"Tapi lo nggak papa kan?" Tanyanya seranya mencoba memegang tanganku.

  Aku langsung menarik tanganku sejauh mungkin darinya.

"Maaf, gue cuma khawatir sama lo. Jangankan itu lo, seandainya yang tadi ada disana itu Risa atau Kare juga gue pasti khawatir. Apalagi lo!"

"Gue nggak papa," kataku seraya membuang muka.

"Bagus deh kalau begitu."

  Pesanan es coklatku datang, dan juga steak yang Evan pesankan untukku. Akhirnya aku bisa meminum es coklat, untuk menenangkan hatiku. Aku langsung meminumnya cepat-cepat, dan memegang erat-erat minumanku.

"Enak nggak?" Tanya Evan menatapku.

"Enak."

"Coba rasain ...."

  Aku merengut seketika. Apa maksudnya rasain? Kalau dia mau es coklat kenapa malah pesan cappuchino.

"Hehe ... gue cuma becanda kok. Gue cuma mancing lo, biar tampang jutek lo muncul lagi. Yah ... walaupun sejujurnya tampang jutek lo juga nggak enak dilihat sih, tapi itu lebih baik daripada gue harus liat ekspresi sedih lo. Gue nggak sanggup." Evan menggeleng lemah, dengan matanya yang lurus menatapku.

  Aku tercekat, dan tidak bisa menjawab apa-apa.

"Win, tolong jangan nangis kayak gitu lagi. Selama lo inget, disaat lo sedih, akan ada orang yang juga sedih lihat lo sedih, tolong ... jangan pernah sedih lagi."

  Aku hanya tersenyum hambar, seaindainya Evan tau apa masalahku.

"Disaat dunia nggak berjalan baik-baik aja, lo harus tetep menghadapinya. Maka, lo akan bertambah kuat karena masalah itu sendiri."

 'Kalau aku bilang aku tidak kuat, apa kamu bisa mengerti?'

"Ya," jawabku singkat.

"Meskipun gue selama ini nggak pernah liat lo senyum, tapi gue yakin kalau lo senyum pasti cantik banget."

"Tau darimana?" tanyaku datar.

Lihat selengkapnya