Can't Stop

Siti Soleha
Chapter #13

Orang itu Muncul

"Apa kamu tahu? Selalu saja begitu. Selalu saja, berbicara lebih mudah dari pada melakukannya." -Winda

*******

Dunia Winda

"Percayalah Win ... setidaknya dengan diri lo sendiri!"

Kata-kata Evan barusan masih terngiang-ngiang di telingaku. Aku tetap membisu, tidak menjawabnya sama sekali.

Apa kamu tahu?? Selalu saja begitu. Selalu saja... berbicara lebih mudah daripada melakukannya.

Aku mencoba memikirkan kembali kata-kata Evan. Namun akhirnya aku sadar, bahwa sekarang yang terpenting adalah menghubungi Mang Ujang. Penjaga sekolah ini yang pastinya memiliki kunci gudang juga. Aku mengenal baik Mang Ujang karena sering datang mengambil perlengkapan paskibra ke gudang. Mang Ujang bahkan dengan baik hati menjelaskan bahwa pintu gudang sudah rusak, jadi apabila datang kesini tidak perlu menutupnya sampai rapat karena akan otomatis terkunci sendiri.

Oleh karenanya apabila aku ke gudang aku tidak benar-benar menutup pintu sampai rapat. Ini semua jelas-jelas karena Evan! Ingin aku memakinya, tapi aku harus secepatnya menghubungi Mang Ujang meminta tolong sebelum baterai HPku habis. Aku mengirimi sebuah pesan singkat untuk meminta bantuan Mang Ujang agar lekas ke gudang. Aku juga mengabarinya bahwa aku dan Evan terjebak dalam gudang.

"Win ... Winda ... lo masih sadar kan?" Tanya Evan mengkhawatirkanku.

"Hmm ..." balasku malas.

"Jawab dong yang bener, biar gue nggak khawatir."

"Iya kenapa sih! Gue masih sadar dan sehat wal a'fiat," jawabku kesal.

Aku mulai khawatir karena Mang Ujang tidak juga merespon pesanku. Padahal sudah sepuluh menit berlalu. Apa Mang Ujang tidak melihat pesanku?

Azan magrib berkumandang. Sedangkan gudang tidak hanya semakin gelap tapi juga dingin. Aku merutuk-rutuk dalam hati, kalau bukan karena Evan aku tidak akan mengalami hal seperti ini. Rasanya ingin aku meneriakinya sekencang-kencangnya.

Bodoh! Bodoh! Evan bodoh!!!

Tiba-tiba aku melihat secercah cahaya berasal dari pintu gudang. Itu pasti Mang Ujang. Reflek aku berlari menuju cahaya tersebut, terdengar juga langkah kaki Evan yang berlari menuju pintu.

"Mang Ujang, makasih ya Mang udah nolongin Winda." Kataku lega melihat Mang Ujang membuka pintu gudang.

"Iya ... sama-sama, Neng Winda. Punten nyakk telat datangnya. Mamang baru liat sms, Neng Winda. Mamang mau bales, tapi nggak punya pulsa. Hehe ..." Mang Ujang tersenyum ramah.

"Iya nggak papa kok, Mang. Mamang dateng aja, Winda, udah lega banget."

"Oh, iya, bukannya, Neng Winda, udah Mamang kasih tau ya kalau pintu gudang rusak? Tadi lupa atau bagaimana sampai pintunya ditutup?" Tanya Mang Ujang.

"Saya nggak lupa kok Mang. Tapi yang tutup pintunya tadi bukan saya tapi dia .... " Aku mendelik ke arah Evan dengan tatapan kesal. Evan bukannya merasa bersalah malah cengengesan.

"Ooh ... Den Evan. Ya sudah nggak papa. Kata anak Mamang si Nia, Den Evan teh cakep pisan. Apalagi kalau lagi senyum, manis kantanya. Si Nia mah katanya udah dari dulu suka sama Den Evan," seru Mang Ujang seraya terkekeh.

"Lho emangnya dari mana anaknya Mang Ujang kenal sama saya?" Tanya Evan kebingungan.

"Si Nia kan sekolah di sini juga kelas sepuluh. Sudah yuk kita keluar, sekarang teh sudah sangat gelap."

"Iya Mang ...." Aku dan Evan mengikuti Mang Ujang dari belakang.

Evan sempat melirikku beberapa kali tapi tidak kutanggapi. Tapi tampaknya dia tidak putus asa, melirikku sambil cengengesan berkali-kali.

"Apa sih lo! Nggak jelas!" Kataku kesal pada Evan.

"Sudah ya ... sampai di sini. Itu kan gerbang sudah kelihatan," kata Mang Ujang memotong pembicaraanku dengan Evan.

"Eh iya, Mang, nggak papa kok. Terima kasih banyak ya Mang udah ditolongin. Wah ... kalau nggak ada, Mang Ujang, bisa-bisa saya nginep di gudang, Mang." Aku bergidik ngeri membayangkan kalau hal itu benar-benar terjadi.

"Gue malah seneng kalau bisa nginep berdua sama lo. Haha ...." Evan tertawa lebar.

"Jangan mimpi!!"

"Aduh.. jangan berantem atuh. Nanti ujung-ujungnya malah jadi naksir kalian berdua ... hehehe ...."

Lihat selengkapnya