"Seseorang yang biasanya terlihat ceria, bisa jadi menyimpan perih yang teramat dalam di hatinya."-Evan
*******
Dunia Evan
Aku menahan kuat lengan papahnya Risa, sewaktu Dimas tanpa kontrol malah menantangnya. Perilaku Papahnya Risa saat ini seperti orang yang sedang kesurupan, ditambah Dimas malah menantangnya dan memukulnya. Jelas saja itu membuatnya bertambah berang, padahal aku dan Ucok sudah kewalahan memeganginya karena Papahnya Risa memiliki postur tubuh tinggi besar yang sangat berat untuk dihalangi.
Aku bertambah kaget saat melihat Risa tiba-tiba pingsan karena tidak kuat menahan sakitnya.
"Om, lihat?! Om, lihat sekarang anak Om, pingsan akibat ulah Om? Lihat kan?! Kenapa, Om, nggak sekalian aja membuat anak Om, mati sampai Om sendiri yang akan menguburnya?!" Dimas benar-benar tidak terkontrol saat ini. Aku harus segera mencegahnya agar ia tidak berbuat sesuatu yang tidak diinginkan.
"Dimas, Dim, udah, Dim! Lo jangan kacau begini. Mending lo bantuin Winda dan Kare buat bawa Risa sekarang juga ke RS! Biar gue sama Ucok di sini yang bakal ngehalangin papahnya Risa. Win, kamu bawa Risa secepetnya ke RS ya!" Aku memalingkan wajahku menatap Winda. Dia hanya bisa mengangguk lemah seraya mengusap air matanya.
"Iya bener itu, Dim, cepat bawa Risa ke RS! Biar aku sama Evan yang tetap di sini!" seru Ucok.
"Lepaskan saya dasar anak-anak kurang ajar!" Papanya Risa terus meronta, sementara aku dan Ucok mulai kerepotan memeganginya.
Dimas yang menyadari hal itu langsung menggendong Risa dan berlari ke luar bersama Winda dan Kare. Aku terus menahan kuat lengan papahnya Risa sampai aku mendengar bunyi mobil yang menjauh. Aku lega sekarang, setidaknya Risa akan mendapatkan pertolongan pertama secepatnya. Saatnya aku menanyakan kepada Papahnya Risa kenapa dia melakukan hal itu.
Baru ingin kubertanya, papahnya Risa yang tadinya meronta dengan hebat minta dilepaskan sekarang malah menangis dan terdiam. Aku dan Ucok saling berpandangan dan mulai pelan-pelan melepaskannya. Ia tiba-tiba terduduk di tangga dan menangis hebat. Aku dan Ucok hanya mendiamkannya sejenak hingga ia tenang sendiri. Tidak lama kemudian, begitu ia tenang, aku mulai menanyainya.
"Kenapa Om tega melakukan ini sama anak Om sendiri?" Tanyaku dengan tatapan menyelidik. Harusnya ia tidak memperlakukan anak perempuannya dengan cara seperti itu.
Aku jadi teringat dengan Yera, adikku. Ayahku bahkan sangat menyayanginya, hingga over protectif padanya. Disaat ayahku sedang marah padanya, ia bahkan tidak tega hanya untuk membentaknya. Tapi kenapa papahnya Risa melakukan hal ini kepada anak perempuannya sendiri?
"Dia, dia sudah membunuh anak kandung saya. Saya hanya mencoba membalaskan dendam anak saya," ujarnya seraya menangis dengan menundukkan kepalanya.
"Memang kalau Om balas dendam anak Om yang sudah tiada bisa hidup kembali?" tanya Ucok sarkartis. Aku hanya menggeleng pada Ucok memintanya diam, aku tahu pasti ada yang tidak beres di sini, melihat begitu banyak kejanggalan yang ada.
"Udah, Cok, kita nyusul Dimas aja, yuk." Aku langsung menarik lengan Ucok untuk menjauh dari papahnya Risa yang terlihat sedang melamun. Semoga Risa mau menjelaskan semuanya, agar kami dapat mengetahui kebenarannya.
"Iya kau benar, Van, ayo kita pergi dari sini."
............
Sampai di rumah sakit , aku segera berlari menuju ruang UGD. Aku melihat Dimas yang sedang duduk bersama Winda dan Kare yang terus menangis. Aku benar-benar tidak tega melihat Winda menangis, ia bukan tipe perempuan yang mudah menangis di depan orang banyak. Kalau sampai ia melakukannya, pasti hal ini begitu mengusiknya, bahkan membuatnya sangat bersedih.
"Udah jangan nangis, Risa pasti baik-baik saja, kok. Risa kan sama kayak kamu, kuat! Ya kan?" Aku menenangkan Winda dengan menggenggam tangannya. Namun ia malah tidak memedulikanku dan terus saja menangis.
"Gimana keadaan Risa, Dim?" tanyaku beralih pada Dimas.
"Kata dokter mereka akan segera melakukan tindakan. Semoga Risa baik-baik aja dan cepat sadar." Dimas berkata singkat karena masih terlihat letih.
"Tapi dokter udah melakukan tindakan, kan?" tanyaku lagi memastikan.
Dimas hanya mengangguk lemah dan tidak ada tanda-tanda ingin menjelaskan lagi. Aku dan Ucok pun terdiam, menatap pintu UGD dengan tatapan khawatir. Aku berharap dokter segera keluar dari sana dan menjelaskan bahwa Risa baik-baik saja agar kami bisa merasa lega.