"Tidak ada yang lebih mengerti anak perempuan, selain ayahnya. Jika, Om, tidak mengerti bagaimana cara memperlakukan anak perempuan dengan baik karena, Om, tidak memiliki anak perempuan, janganlah memperlakukan anak perempuan orang lain dengan buruk!"- Kare
*****
Dunia Winda
Aku, Kare dan semuanya kaget waktu Ucok memberitahu bahwa yang datang adalah papahnya Risa. Terutama Risa, aku sempat melihatnya ia benar-benar kaget walau sekilas tapi langsung menutupinya dengan senyuman kecil.
"Nggak papa kok, biarin aja bokap gue masuk." Risa tersenyum seraya memandang pintu yang belum terbuka.
Ucok masih ragu antara membuka pintu dan mempersilahkan papahnya Risa masuk atau tidak. Tapi mendengar Risa yang sudah berkata seperti itu, Ucok terpaksa membuka pintunya.
"Minggir, minggir kalian!" Papahnya Risa mendorong bahu Ucok yang masih berdiam diri di depan pintu.
Beliau kemudian langsung beranjak ke arah Risa dengan ekspresi panik.
"Risa, Risa, maafin, Papah, ya, Ris. Tapi tolong, bilang sama teman-teman kamu supaya nggak laporin papah ke polisi. Tolong bilang sama mereka." Papahnya Risa mengenggam tangan Risa dengan tatapan cemas.
Bukan... bukan cemas dengan apa yang terjadi pada Risa. Tapi lebih kepada apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri karena takut di penjara. Aku menghempaskan napas dengan kasar, bisa-bisanya beliau bersikap begitu di depan seseorang yang baru ia aniaya dengan kejam.
"Om, Om, kok nggak malu sih ngomong begitu? Bukannya panik dengan keadaan Risa yang baru Om siksa, Om, malah mencemaskan diri sendiri. Om, benar-benar bukan Papah yang baik ya?" Dimas yang geram segera menghampiri Papahnya Risa, dan untungnya dapat dicegah oleh Evan dengan memegang lengannya dan menggeleng-gelengkan kepala menatap Dimas.
"Udah, Dim, ini urusan antara gue sama bokap gue. Lo jangan berkata seperti itu, karena bagaimana pun dia adalah bokap gue." Risa memgang bahu Papahnya seraya mencoba menenangkannya.
"Papah, Papah, tenang ya. Nggak ada yang akan bawa, Papah, ke kantor polisi kok, biar gimana pun juga, Risa mengerti keadaan Papah." Risa menyunggingkan senyum tulus dan menatap papahnya dengan sendu. Seolah-olah Risa tahu tidak ada yang dapat mengerti Papahnya di dunia ini selain dirinya.
Aku menatap Risa dengan tatapan haru sampai hampir menangis. Aku tahu Papahnya Risa mengalami depresi yang sangat parah, tapi tetap saja, menyiksa Risa setiap depresinya kambuh karena mengingat anaknya yang sudah meninggal itu juga tidak bisa dibenarkan.
"Om, saya tahu, Om sakit. Tapi, Om, nggak bisa menyiksa Risa secara terus-menerus. Apa Om, nggak kasihan sama Risa?" tanya Kare dengan berani. Ia mengepalkan tangannya dengan erat tanda bahwa ia sedang marah, tapi ia juga tahu ia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kamu! Kamu nggak mengerti dengan apa yang saya alami. Risa saja dapat mengerti saya! Kamu siapa? Kamu bukan siapa-siapa saya! Jadi jangan sok tahu!" Papahnya Risa menunjuk-nunjuk Kare dengan tatapan berang, sedangkan Kare tidak berkata sedikit pun. Ia tidak mundur walau selangkah karena takut, ia tetap mencoba menatap manik mata Papahnya Risa dengan tajam.