Can't Stop

Siti Soleha
Chapter #20

Pundak yang Kuat

"Apa kamu tahu? Kalau Tuhan tidak pernah salah menitipkan ujian di pundak seseorang? Semakin besar ujian, semakin kuat juga pundak orang itu" - Evan

                                  ******

Dunia Evan

    Aku melihat menu makanan kantin yang nampaknya sangat enak, tapi sayangnya sama sekali tidak menggugah seleraku. Aku sedang letih sekarang, ditambah Winda yang masih menangis membuatku bingung tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Setelah memesan dua porsi nasi goreng dan juga dua gelas es teh manis, aku menuju ke arah pojok kantin. Di sana terdapat box ice cream dan juga susu coklat kesukaan Winda. Aku membeli agak banyak, mudah-mudahan mood Winda membaik setelah memakan ice cream dan susu coklat.

    Begitu aku kembali ke tempat duduk, kulihat Winda, Kare dan Ucok masih diam seribu bahasa tanpa ada satu pun yang berniat mengajak ngobrol.

"Winda, Win, aku beli ice cream. Mau nggak?" Aku memberikan satu kantung berisi ice cream kepada Winda. Tapi ia masih cemberut seraya menggeleng tidak tertarik.

"Makan dong ice creamnya biar mood kamu baik lagi." Aku membuka ice cream itu dan memaksanya untuk memakan walau sedikit saja. Tapi ia malah menepis tanganku tanda tidak suka dengan yang aku lakukan.

"Ya udah kalau nggak mau, biar aku aja yang makan," kataku seraya memasukan ice cream tersebut ke mulutku.

"Kamu masih mikirin Risa?"

       Winda tetap diam, walau sempat mengangguk sekilas.

"Apa kamu tahu? Kalau Tuhan tidak pernah salah menitipkan ujian di pundak seseorang? Semakin besar ujian, semakin kuat juga pundak orang itu." Winda sekilas menoleh ke arahku, lalu menunduk kembali.

"Kamu nggak percaya sama aku?"

"Nggak!"

"Kamu harus percaya, karena aku punya seorang perempuan kuat yang diuji dengan begitu dahsyatnya. Kamu tahu siapa? Adikku sendiri, namanya Yera. Dari adikku kecil, dia divonis mengidap penyakit langka. Dan mulai sejak itu, aku tahu, bahwa menjalani kehidupannya, tidak akan pernah semudah yang aku kira. Tapi dia tetap kuat, tapi dia tetap tegar. Lebih dari itu, dia tetap adikku. Dan aku sayang banget sama dia."

    Aku mencoba tersenyum pada Winda, meski tidak kupungkiri, mengingat Yera selalu membuatku terluka.

"Sakit apa?" tanya Winda yang tampaknya tertarik dengan ceritaku.

"Kamu tanyain aja sendiri sama dia, kalau kamu ketemu nanti." Air mukaku mulai berubah, tapi aku tetap harus menahannya di depan Winda.

"Aku boleh ke rumah kamu sekarang buat nanya?" tanyanya tiba-tiba seraya menggenggam tanganku.

   Aku tahu ia hanya mencoba menenangkanku. Tapi lebih dari itu, aku merasa sangat senang dengan perlakuannya.

"Ke rumah aku? Boleh lah, apalagi kalau sambil masakkin aku. Hehe ...."

"Aku ke rumah kamu buat ketemu adik kamu," ucapnya seraya memajukan bibirnya.

   Dia benar-benar membuatku gemas saat ini.

"Dia sekarang stay di Jerman untuk pengobatan. Nanti kalau udah balik, kamu bakalan langsung aku kasih tau."

"Apa dia nggak pernah nangis?"tanya Winda hati-hati.

"Nangis, pasti dia nangis. Seluruh hidupnya harus tergantung dengan obat. Dan itu pasti ngebuat dia nggak nyaman. Tapi dia nggak pernah nangis di depan aku. Mungkin bagi dia, dia gengsi nangis di depan cowo walaupun itu kakaknya sendiri. Mungkin lebih enak kalau girl talk. Makanya aku pikir, dia bener-bener butuh kakak ipar," kataku seraya menaik-naikan alisku menggodanya.

"Apa sih!" Dia langsung melepas tanganku dan berteriak.

   Aku tertawa melihatnya, apalagi Winda ngeblusshing. Aku semakin tertawa lebar.

"Udah ah, aku mau ke kamar Risa lagi." Winda menunduk dan mengobrak-abrik isi tasnya.

   Padahal kutahu, itu pasti alibi saja untuk menyembunyikan rasa malunya.

"Iya, iya, kakak iparnya Yera. Ayo kita balik ke kamarnya Risa. Tapi, ini makhluk dua nggak kamu ajak juga? Makan udah kayak zombie, diem aja gitu." Aku menunjuk Kare dan Ucok yang sedang makan dalam suasana hening.

Lihat selengkapnya