"Hahaha, itu namanya bego!" -Winda
******
Dunia Winda
Aku pulang dari rumah sakit dengan berat hati. Benar-benar ya makhluk bernama Risa itu keras kepalanya, nauzhubillah. Padahal aku dan Kare bersikeras untuk nginap agar bisa menjaganya. Ya, biar begitu-begitu Risa masih mempunyai sifat nggak enakan juga sih. Tapi jadinya aku malah terjebak sama Evan yang lagi ngerengek nggak jelas kayak bayi.
"Ya, ya, kita makan dulu ya. Aku laper banget nih!" rengek Evan entah sudah yang keberapa kali.
Kalau aja bukan dia yang lagi mengendarai mobil sekarang, sudah aku jambak rambutnya. Baru juga makan di kantin, sekarang sudah minta makan lagi.
"Nggak mau! Apa sih, kamu baru juga tadi makan di kantin," kataku sebal.
Kare yang berada di sebelahku sama sekali tidak mendengar kata-kataku karena dia sedang memakai earphone. Sedangkan Ucok yang duduk di bangku depan malah mendukung Evan untuk makan lagi.
"Iya, Win, kita makan lagi saja. Tadi aku belum kenyang, kau kan lihat sendiri aku baru makan ice cream aja malah di kasih saus cabai sama Evan. Sama sekali belum kenyang!" katanya dengan tampang sok melas.
"Lo udah makan nasi goreng ya! Jangan pikir gue nggak tahu! Dan ice cream yang dikasih saos sama Evan kan cuma satu. Sisanya, ada kali lima ice cream lo ambil. Kurang kenyang di perut bagian mananya?" tanyaku sinis.
"Hahaha, kena lo, Cok! Lo tau si Winda ratu debat kelas kita. Mana bisa lo adu debat sama dia. Haha ...." Evan tertawa ngakak.
"Bodo lah! Kalian berdua tuh sama! Sama-sama menyebalkan! Menyesal aku punya teman seperti kalian."
"Wkwkwk, yah dia ngambek. Udah yuk, sayang, kita berhenti buat makan dulu. Lagipula kan tadi aku cuma makan sedikit karena sibuk nenangin kamu di kantin."
"Makan aja sih di rumah. Kalian kayak nggak punya mama aja. Pasti udah disiapin lah di meja makan." Aku malas mendengarkan rengekan mereka lagi.
"Lah? Kau nggak tahu kalau mama Evan ada di jerman? Sudah bertahun-tahun dia dari SMP tinggal sendiri di rumahnya. Kau ini gimana pacarnya tapi nggak tahu? Dan kalau mamakku, dia sedang pulang kampung ke Medan," jelas Ucok panjang lebar.
"Pulang kampung mulu nyokap lo, Cok. Udah bosen kali, Cok, ngurusin lo, hahaha."
"Sial kau, Van!"
"Yaudah kita makan. Tapi makan seafood kesukaan gue gimana?" tawarku.
"Deal!" Evan langsung menanggapiku dengan cepat.
"Lho? Lho kok makan seafood? Kau kan, ppffttthh ... ppfftthh ... lepaskan tangan bau kau, Van. Aku hampir mati kehabisan oksigen!" Ucok sebisa mungkin melepaskan tangan Evan yang tau-tau menutupi mulutnya. Aku juga tidak mengerti kenapa.
.................
Evan menanyakan aku mau makan seafood di mana. Aku bilang terserah aja karena bagiku semua tempat makan seafood enak. Di restoran pun jadi, di pinggir jalan pun jadi.
Setelah menemukan tempat seafood yang pas kami berempat turun untuk makan. Tidak terkecuali Kare, yang memang hobi makan seafood sama sepertiku.
"Mau pesan apa?" tanyaku senang. Aku benar-benar merasa antusias saat melihat kepiting, udang, cumi, kerang, dan ikan-ikanan di dalam daftar menu.
"Gue sama kayak lo," kata Kare yang menunjuk beberapa menu sebagai menu favourite kita berdua.
"Kalau kamu?" Aku melihat Evan yang diam tidak berkutik seraya tersenyum menatapku.
"Aku sama kayak kamu." Dia tiba-tiba mendekatkan wajahnya kepadaku.
"Dia kenapa sih, Cok?" tanyaku yang agak kesal melihat kelakuan Evan.
"Biasa lebay," ucap Ucok yang langsung mendapatkan pukulan tempat tisu dari Evan. Tapi tetap saja dia melakukannya tanpa menoleh ke arah Ucok, masih menatapku seperti ayam kesambet.
"Kamu kenapa?" tanyaku yang mulai takut.
"Aku baru tahu kalau senyum kamu cantik banget. Nggak salah dari kelas sepuluh aku udah suka kamu meski pun aku nggak pernah lihat senyum kamu," ujarnya masih memandangiku sambil senyum-senyum.
"Apa sih lo norak!" kataku kesal.