"Lo nggak berhak untuk nyuruh gue jadian sama siapapun! Rasa sayang gue sama lo, bukannya mainan, barang atau hadiah, yang bisa lo kasih ke siapapun juga. Lo nggak berhak melakukan itu!"-Evan
*****
Dunia Evan
Sudah dua hari ini Winda ke bandung. Tanpa kabar, chat dan telepon. Aku tahu mungkin dia sibuk mengurus keluarganya yang sedang sakit. Tapi kan setidaknya dia memberiku kabar walau singkat. Huh, padahal dia juga tahu kalau aku sedang sakit. Masa dia nggak mau sekedar chat untuk menanyakan kabarku sih?
Aku benar-benar malas jadinya. Ditambah sekarang aku malah terjebak dengan makhluk yang menyebalkan dan malangnya aku dan dia di takdirkan menjadi sepupu dari lahir, Alea. Dari pagi buta dia menelponku berkali-kali yang berisiknya ngalah-ngalahin jam wekerku. Katanya dia ditugaskan papihnya untuk mengecekku apakah aku sudah sembuh atau masih sakit. Ya ampun, aku kan bukan anak kecil lagi. Aku bisa mengurus diriku sendiri.
"Heh, bengong aja! Ntar kesambet setan jelek lho!" Alea memukul kepalaku dengan dompetnya yang berukuran besar.
Aku sontak tersadar akibat pukulan itu dan langsung mengarahkan tatapan horor padanya.
"Lo ngapain sih asal mukul-mukul kepala orang? Difitrahin nih!" Aku menatapnya kesal seraya mengelus-elus rambutku.
"Ya lagian malah bengong. Lo nggak lihat antrean di belakang tambah panjang gara-gara lo? Udah cepetan bayar, gue mau latihan cheers nih."
Aku sedang berada di kasir memang. Dan kulihat antrean di belakangku jadi semakin panjang karena aku terus bertengkar dengan Alea. Semua orang di belakangku, kudengar sedang kasak-kusuk kesal karena aku hanya diam mematung.
"Yaudah sini lo juga bayar, kan perjanjiannya bayar sendiri-sendiri." Aku menunjukan harga-harga makanan yang Alea pesan di bill.
"Dih enak aja, lo yang bayarinlah. Masa gue bayar sendiri!"Alea mengatakannya tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Dia sibuk sendiri mengutak-atik HPnya.
"Nggak ada ya perjanjiannya gue traktir lo! Lo ajak gue ke sini aja gue terpaksa. Masa pakai bayarin juga?" Aku melotot ke arahnya seraya memberi kode untuk cepat memberikan uang sebelum kami diamuk massa yang sudah tidak sabaran mengantre di belakang.
"Heh, Vanny! Bukan lo doang ya yang terpaksa! Gue juga terpaksa bloon! Kalau Papih gue nggak nyuruh-nyuruh gue buat ngecek lo juga gue nggak mau nyamperin. Lagian ya, Vanny, ini tuh udah hukum alam tidak tertulis di dunia, kalau ada laki-laki dan perempuan yang sedang makan berdua, yang bayarin pasti laki-laki lah. Lo laki-laki bukan?" Tantangnya padaku. "Bener kan yah, Mba, ya Mas? Saya bener kan?" tanyanya kepada orang-orang yang mengantre di belakang kami. Orang-orang tersebut hanya tersenyum kecil menanggapi ocehan Alea.
"Iya, iya, gue bayarin! Bisa nggak, nggak usah nanya ke orang-orang? Bikin malu aja!" Aku menatap Alea berang, meski dia seperti tidak peduli dengan kemarahanku.
"Yee, lagian lo nggak ngerti-ngerti sih. Lemot!" katanya cuek.
................
Setelah membayar bill di kasir, yang setelah kulihat tagihannya membengkak karena Alea memesan menu makanan paling mahal di cafe itu, aku langsung menyeretnya pulang. Bisa gila kalau aku lama-lama sama dia. Hufth....
"Lepasin gue nggak! Gue bisa jalan sendiri. Emang lo pikir gue karung apa lo seret-seret, hah?" Alea mencoba berontak sewaktu aku menariknya untuk cepat-cepat masuk ke dalam mobil.
"Lo rese' abisan! Pantesan enteng banget milih makanan yang paling mahal. Ternyata udah ngincer supaya gue yang traktir lo!" Setelah Alea masuk ke dalam mobil, aku langsung membanting pintunya dengan kencang.
"Gue udah bilang juga yang wajib traktir itu cowo. Kenapa lo jadi marah-marah? Lo bukan cowo?" sahut Alea setelah aku masuk ke dalam mobil.
"Bukan permasalahan traktirnya. Tapi ngapain lo pilih makanan yang paling mahal? Bisa gila gue lama-lama sama lo! Perasaan kalau gue lagi sama cewe gue, gue selalu happy nggak kayak kalau lagi sama lo!" cibirku.
"Isshh, sok bangga-banggain cewenya. Cewe lo juga palingan terpaksa tuh jadian sama lo! Haha."
Aku terdiam, membenarkan dalam hati kata-katanya.
"Kok lo diem? Bener ya kata-kata gue?" Dia menaik-naikan alisnya menggodaku dengan menyebalkan.
"Nggak mungkinlah cewe gue terpaksa. Guenya ganteng begini." Aku menunjukkan wajahku padanya.