Can't Stop

Siti Soleha
Chapter #25

Pergi

"Kebodohanku yang paling fatal adalah saat aku tidak memikirkan bahwa dengan melakukan hal ini, aku juga akan terluka dengan sangat dalam."-Winda

*****

Dunia Winda

Setelah Evan pergi aku hanya bisa terdiam terpaku. Wajah Evan yang memerah, dengan kilatan matanya yang tajam serta tangannya yang mengepal sungguh benar-benar membuatku takut. Wajar kalau dia marah besar, karena memang aku telah menyakiti hatinya.

Dari awal aku memang lelah menghadapi Evan serta status pacaran pura-pura ini. Tapi entah kenapa aku begitu mudahnya terbujuk dengan Nadya yang mengatakan untuk memberikan Evan padanya saja. Pasti Evan sangat sakit hati karena aku terlihat seperti mempermainkannya dan menganggapnya tidak berharga.

Ini semua mungkin karena aku tidak berpikir panjang. Aku melihat Evan di rumah sakit bersama perempuan lain, membuatku sedikit sakit hati dan langsung dengan mudahnya masuk ke dalam jebakan Nadya. Bagaimana bisa aku masuk ke dalam lubang yang sama untuk ke dua kalinya? Dia bahkan memfitnah sepupu Evan dengan mengatakan bahwa Alea adalah selingkuhannya. Kenapa aku begitu mudah percaya?

Dan sekarang, entah kenapa aku begitu ingin menangis. Melihat Evan yang membenciku membuatku marah kepada diriku sendiri. Ini diriku, ini ceritaku dan sialnya, kenapa aku yang harus menjadi pemeran antagonis di sini?

Aku menatap Nadya dengan tatapan benci. Dua kali, dua kali ia melakukan ini kepadaku. Kenapa aku harus terus-menerus kalah darinya?

"Puas? Puas lihat Evan sebegitu bencinya sama gue sekarang?" Aku tersenyum miring melihat ia yang kaget dengan perkataanku.

"Gue, gue nggak ada maksud sama sekali untuk ngebuat Evan benci sama lo. Gue udah jujur sama lo kalau gue suka sama Evan dan gue pengen memilikinya. Gue tahu lo nggak suka sama dia, jadi ...." Nadya tidak melanjutkan kata-katanya.

"Tapi bukan berarti begini caranya. Bukan harus lo fitnah Evan, bahwa sepupunya itu adalah selingkuhannya. Lo ngomong begitu kan sama gue dari awal? Dan gue langsung panas begitu lihat chat lo, dan tanpa pikir panjang gue mengiyakan semua omongan lo." Aku mati-matian menahan air mataku agar tidak jatuh.

Tapi aku agak sangsi, ini air mata karena Nadya yang sudah mempermainkanku. Atau air mata karena aku ditinggalkan Evan.

"Win, cuma itu cara yang gue punya. Gue ...." Nadya mencoba meraih tanganku, dan langsung kutepis. Matanya hanya menyorotkan ketakutan tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.

"Tenang aja! Gue nggak bakalan bales lo kok. Kalau gue bales lo, apa bedanya gue sama lo. Ya, kan?" Aku memberikan tatapan sedingin es padanya.

"Gue balik dulu, terima kasih untuk hari ini, terima kasih untuk semuanya." Aku beranjak dari tempat dudukku tanpa menoleh kembali kepada Nadya.

Aku tidak memedulikannya lagi. Yang harus kupikirkan adalah bagaimana caranya Evan mau memaafkanku. Aku benar-benar membenci diriku sendiri. Hatiku sakit, bukan karena orang lain yang menyakiti hatiku. Aku sendiri yang telah menyakiti hatiku.

..................

Aku kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Aku tidak menyangka bisa sekacau ini. Kupikir tidak akan semenyakitkan ini, tapi aku salah. Rasanya benar-benar menyakitkan. Aku telah menyakiti dua hati sekaligus! Hati Evan dan juga hatiku sendiri. Perasaanku saat ini dengan Evan, aku tidak yakin masih tidak memiliki perasaan apa-apa dengannya.

Aku memeluk bantal erat-erat serta menggigit bibirku dengan kencang untuk menahan tangisanku agar tidak jatuh. Kebodohanku yang paling fatal adalah saat aku tidak memikirkan bahwa dengan melakukan hal ini, aku juga akan terluka dengan sangat dalam.

Aku tidak tahan dan langsung menghubungi Risa dan Kare secara bersamaan melalui telepon grup. Begitu mereka mengangkatnya aku malah membeku tidak tahu harus mengatakan apa.

"Halo ...."

"Halo, Win, tumben telepon ada apa?" tanya Kare.

"Lo masih di bandung, Win? Kok lama banget nggak masuk-masuk sekolah?" cerocos Risa.

"Gue ... gue ...." Aku tidak dapat melanjutkan kata-kataku.

"Lo kenapa, Win?" tanya Kare.

"Winda? Lo nggak lagi nangis kan? Win? Jawab gue!" perintah Risa.

"Gue mau cerita soal ...."

"Soal apa???" teriak Risa dan Kare bersamaan.

...............

Aku melangkahkan kakiku dengan gontai ke dalam kelas. Wajahku bengkak karena banyak menangis. Menangis? Ya menangis. Menangisi seorang Evan yang selama ini tidak kupedulikan. Tapi kini, bagaimana bisa aku menganggapnya begitu penting?

"Winda!!" teriak Kare dan Risa bersamaan. Aku menoleh sekilas lalu menunduk lagi.

Kemarin aku telah menceritakan semuanya kepada mereka. Dan reaksi mereka adalah kaget begitu kuberitahu kalau Evan marah besar. Mereka bilang Evan nggak mungkin marah kepadaku. Huh? Seandainya mereka melihat kejadian di cafe kemarin akibat ulahku, betapa terluka, sakit hati dan marah menjadi satu tercetak di wajahnya. Aku melihatnya saja begitu ketakutan, meski dia tidak bertindak kasar, tapi tetap saja aku merasa takut.

"Lo nggak papa?" tanya Kare merangkulku. Aku hanya bisa duduk di kursiku seraya mengangguk pasrah.

"Gue yakin kok, Evan marahnya nggak bakalan lama kalau sama lo mah. Percaya deh sama gue, tadi malam gue juga udah cerita sama Dimas dia bilang hal yang mustahil seorang Evan bisa marah sama seorang Winda. Gitu katanya," kata Risa mencoba menenangkanku. Tapi entah kenapa, aku malah tidak yakin.

"Iya." Aku hanya membalas singkat, karena aku melihat Evan masuk kelas. Aku langsung berdiri dari tempat dudukku, dan menghampirinya.

"Evan," panggilku pelan. Dia reflek menoleh lalu langsung buang muka lagi. Evan duduk di kursinya dan membuka tasnya untuk mengeluarkan buku-bukunya. Dia sama sekali tidak menganggapku ada. Sama sekali.

Lihat selengkapnya