Candera Mata

Silvia
Chapter #2

NANTI #2

Clark Santanu berdecak tidak sabar. Waktu sudah kian mendesak, sementara sang bintang utama belum juga tuntas mempercantik dirinya. Nanti. Sang bintang selalu melontarkan tanggapan serupa. Kebetulan, Nanti adalah bagian dari nama si perempuan molek, bintang utama pertunjukan akbar malam ini. Clark menggedor pintu, menyabarkan hati dan menahan diri untuk tidak berbangkis.

“Ya, ya. Nanti ya, Kakakku. Sabar, Kak,” si bintang besar menyahut dengan renyah. Tak tertangkap nada ketus dalam perkataannya. Padahal sang kakak sudah enam kali berturut-turut menggebuk pintu kamarnya.

“Atsyi!” Jawaban Clark amat pendek. Gila, aroma parfum sang adik berhasil menerobos pintu kamar yang tebal. Perilaku sang adik yang boros menyemprot parfum cukup mengganggu penciumannya. Juga kerap disorot tajam, menjadi sasaran kritik Ben, adik kembar Clark.

Si bintang utama adalah adik perempuan mereka, berpredikat sang bungsu yang manja. Seorang balerina pelangi yang menawan hati. Etoile adalah sebutan prestisius untuk sang adik yang bukan penari balet biasa. Siapa sangka kegemaran adiknya berjinjit-jinjit sejak balita berbuah talenta besar di atas panggung tari.

“Heran, ada juga tarian macam angsa pincang begitu. Berjinjit dengan satu kaki, lalu melompat-lompat. Gak ngerti maksudnya untuk apa.” Komentar Ben soal balet kerap merangsang tawa dan terdengar cukup jenaka.

Sang bintang tari itu adalah Wenanti Santanu. Seorang adik yang hanya bisa merajuk kecut, karena tidak berani unjuk kemarahan pada kakak lelakinya yang jail. Ben Santanu nama sang kakak. Sahabat sehati, partner-in-crime, sekaligus tempat menyampah yang efektif dan efisien. Lalu posisi Clark apa? Seorang bodyguard, pengawal pribadi yang tangguh tetapi tak urung mengamuk ketika sang adik kurang menghargai waktu. Dua setengah jam hanya untuk bersolek, untuk apa itu?

“Wena, sudah belum dandannya? Sudahlah, kamu sudah cantik. Malah cantikan kamu daripada alat kosmetiknya.” Clark melirik arlojinya, sekaligus mencocokkan posisi jarum jam di tangannya dengan jam dinding yang berbunyi detik cukup keras. 

Sebagai pengawal yang terpercaya, ia ditugaskan mengantar sang bintang cantik ke balai pertunjukan tari. Tinggal satu setengah jam lagi sebelum jumpa pers dimulai. Ritual rutin si adik kecil sudah harga mati, wajib meladeni wawancara sebelum pentas sendratari dimulai. Popularitasnya sebagai bintang balet bahkan mengatasi selebritas berkaliber nusantara sekalipun. Awak media asing sudah lumrah berbaur di antara wartawan lokal, mengejar berita terbaru Wena Santanu, demikian nama panggung si balerina yang mencengangkan.

Membahas tentang Wena memang tidak mudah. Karena si penari primadona terlampau lekat dengan kata-kata superlatif yang tak sederhana. Amat brilian. Luar biasa cantik. Berbakat sensasional. Bintang menggemparkan dari panggung tarian balet. Teladan kesenian yang mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Prodigy child. Anak ajaib yang mekar dan beranjak dewasa. Wena yang punya daya pikat tak biasa, mencapai puncak kariernya di usia 16 tahun yang belia.

“Masih belum cukup dandannya?” Clark hanya berani menoleh sekilas, karena aroma parfum Wena telak menubruk hidungnya. Mereka sedang berkendara menuju balai pertunjukan tari. Clark di belakang kemudi mobil, sementara Wena di kursi belakang, bersibuk dengan tetek bengek makeup yang aneh bin ajaib.

“Tinggal sentuhan akhir, Kak. Ini justru penting banget.” Suara Wena jadi janggal karena ia berbicara seraya mingkem, berkutat dengan bedak tabur dan setting spray agar tampilan makeup-nya semakin mantap dan menawan hati.

Lihat selengkapnya