Jakarta, tahun 2019
Dari balik jendela lantai dua Museum Fatahillah aku mengedarkan pandang. Di tengah-tengah lapangan terdapat sebuah bangunan kecil yang dulu menjadi satu-satunya sumber air minum. Menurut catatan, staadhuis atau balai kota Batavia sudah tiga kali berdiri di tempat yang sama. Pertama kali dibangun oleh Jan Peterzoon Coen pada tahun 1620, lalu dibangun lagi gedung yang baru dan bertahan sampai tahun 1707. Di sinilah Petrolina Willemina Van Hoorn, putri gubernur jendral Hindia Belanda Joan Van Hoorn meletakkan batu pertama pembangunan balai kota yang baru.
Kini di tempat itu dipenuhi turis lokal dan mancanegara. Sibuk berfoto mengenakan topi lebar warna-warni dan sepeda ontel. Sebuah cafe modern memakai salah satu bangunan bersejarah. Entah bagaimana cafe itu bisa memakai bangunan yang termasuk cagar budaya.
Telah dua jam aku di sini. Naik dari satu lantai ke lantai lain. Mengamati baja berukuran 7 senti yang menjadi konstruksi pintu. Menyentuh jendela hijau khas Betawi seolah-olah dengan memegangnya aku bisa mengerti sejarah masa lampau.
Langit-langit ruangan ini tinggi dengaan tangga putar serta perabotan antik dari abad ke delapan belas. Serombongan anak TK masuk menyerbu museum. Berteriak-teriak dan meloncat-loncat. Menciptakan kebisingan yang memaksaku kembali ke lantai dasar.
Aku berpapasan dengan petugas museum. Pemandu yang seharusnya dapat kutanyai tentang sejarah tempat ini sebagai bagian tesis kuliahku. Tapi penjelasannya tadi singkat saja. Sambil matanya tak lepas mengikuti tiga gadis cantik remaja di depan. Ia mohon diri dariku dengan sopan. Mengatakan bahwa ada pengunjung dari jauh –Sumatera- yang harus ia layani. Padahal sebelumnya ia mengatakan padaku hanya melayani rombongan minimal 30 orang. Tapi siapa yang bisa menyalahkannya? Melayani seorang pemuda sepertiku yang bersungguh-sungguh ingin mengetahui sejarah, sementara di depannya tiga dara cantik melihat-lihat museum sekilas dan melakukan swafoto.
Aku melewati pemandu tersebut. Yang sekarang sedang berfoto bersama tiga dara cantik di tangga. Wajahnya sumringah. Mungkin menyadari bahwa posisinya sebagai pemandu memberinya sedikit keuntungan.
Aku melewati satu pintu menuju bekas ruang tahanan wanita. Aku berjongkok, menuruni beberapa tangga. Ruangan bawah tanah itu kini tertutup genangan air. Entah karena hujan atau rembesan air laut. Di sebelah ruangan itu, terdapat bekas penjara-penjara lain. Sebuah lubang gelap bekas Pangeran Diponegoro dan Untung Suropati pernah ditahan.
“Cuih, sialan!” Seorang pengunjung keluar dari lubang gelap sambil memaki-maki karena baunya. Campuran lumut dan karat berumur ratusan tahun. Mungkin juga bekas kotoran manusia.