Batavia, Hindia Timur, tahun 1619
Derap tapak kuda terdengar di kejauhan. Teriakan pasukan Belanda dan suara senapan merusak keheningan hutan. Pangeran Jayakarta terengah. Napasnya memburu. Berkilo-kilo meter di belakangnya istananya musnah terbakar. Bangunan itu telah rata dengan tanah. Dirinya dan sisa-sisa pengawalnya habis-habisan mempertahankan tempat itu. Namun mereka kalah dalam jumlah dan peralatan.
“Lari, Pangeran,” penasihatnya memberikan pedang dan pusaka kerajaan sambil mendorongnya pergi.
“Aku tidak akan lari dari pertempuran!” tolak Pangeran Jayakarta tegas.
“Kalau anda wafat, kerajaan akan ikut hancur. Pergilah Pangeran. Pangeran harus tetap hidup agar bisa kembali melakukan perlawanan.”
“Bagaimana denganmu? Bagaimana nasib rakyatku?”
“Kami akan berusaha mempertahankan diri.”
“Tapi....”
Suara tembakan terdengar. Beberapa orang roboh. Bangunan utama istana berkobar dimakan api. Pangeran Jayakarta menatap ruangan demi ruangan di depannya terbakar. Penasihatnya menatap istana dengan cemas.
“Cepat, Pangeran!” Penasihatnya membantunya ke atas kuda, mengangguk pada beberapa pengawal yang paling setia untuk mengikuti Pangeran Jayakarta. Ia melepaskan tambatan kuda lalu memberikan isyarat untuk pergi.
“Taksa, lindungi Pangeran dan pusaka kerajaan dengan nyawamu.”
Taksa, kepala pengawal kerajaan mengangguk. “Mari bergegas, Pangeran. Waktu kita tidak banyak.”
Pengeran Jayakarta terpaksa menghela kudanya ke arah hutan. Ditebaskannya pedang ke arah pasukan Belanda yang menghalangi jalannya. Jeritan dan tangis terdengar di sana-sini. Rumah dan bangunan porak poranda. Pangeran Jayakarta ingin kembali dan menolong rakyatnya tapi tahu bahwa ada hal yang lebih besar yang harus dilakukannya. Ia terpaksa mengeraskan hati. Terus memacu kudanya ke arah hutan. Pasukan Belanda melihatnya dan mengejar.
Drap drap drap.
Deru kuda melewati hutan lebat bersama napasnya yang memburu.
“Tangkap....”
“Mereka lari ke arah hutan....”
“Awas, Pengeran.” Taksa dengan sigap melindungi Pangeran Jayakarta. Pedangnya berkelebat ke sana ke mari. Ia mengecoh pasukan Belanda hingga mereka berpencar. Sebagian mengejarnya. Sebagian lagi tetap mengejar Pangeran Jayakarta dan dua orang pengawalnya.
Clap.
Seorang prajurit Belanda roboh ke tanah tertebas pedang Taksa.
“Bedebah!” umpat seorang prajurit lainnya melihat temannya mati. Ia mengarahkan senapan ke arah Taksa yang bergerak cepat di antara pepohonan.
Tring. Tring.
Hiyaaa...
Suara pedang beradu. Berpadu dengan ringkik kuda dan teriakan.
Sementara itu, sepasukan Belanda lainnya tetap mengejar Pangeran Jayakarta.