Suara ringkikan kuda yang terdengar membuat orang-orang menyingkir.
“Cepat menepi, Gubernur Belanda lewat,” seru sebuah suara.
“Siapa?”
“Jan Pieterszoon Coen,” ujar seseorang yang berpendidikan.
“Mister Jan Coen?” bisik temannya takut-takut.
“Benar, Murjangkung.”
“Wong Wolanda itu?”
Temannya mengangguk.
“Wong Londo sontoloyo.”
“Hush, bisa mati kamu kalau dia dengar.” Orang yang pertama tadi mengingatkan. Semuanya seketika terdiam.
Percakapan itu tidak terdengar si empunya nama. Kereta kuda yang ditumpanginya berlalu begitu saja lalu berhenti di dekat kastil Batavia. Tuan Gubernur turun dari kereta kuda dan masuk ke dalam rumahnya. Sebuah bangunan yang mirip dengan kota kelahirannya, Horn di Belanda. Kusir keretanya adalah seorang pribumi berusia 20 tahunan. Nama Tuan Gubernur sulit diucapkan. Mereka menyebutnya Murjangkung. Perawakan Murjangkung terbilang rata-rata untuk ukuran Eropa. Namun bagi pribumi kurus yang kekurangan gizi, perawakan Murjangkung terhitung tinggi besar. Kelak penggalan nama itu diucapkan untuk menggambarkan orang yang tinggi seperti Tuan Gubernur. Kesulitan yang sama juga membuat orang-orang Melayu menyebut Holland dengan Holanda, Wolanda hingga akhirnya menjadi Belanda.
“Sore, Tuan Gubernur,” ujar seorang ajudannya.
Murjangkung hanya mengangguk, lalu berjalan terus hingga masuk ke ruang pribadinya.
Murjangkung belum lama tinggal di situ. Ia telah memindahkan markas VOC yang sebelumnya ada di Banten. Memanfaatkan kesempatan saat Pangeran Jayakarta menghadap Sultan Banten untuk membumihanguskan istana Pangeran Jayakarta, meratakannya dengan tanah dan merebut kekuasaannya. Sebuah prestasi cemerlang yang menuai banyak pujian. Ia, J.P Coen, pendiri Batavia.
Sang insinyur telah menunggu. Seorang bujang membawakan tasnya. Kopi dan roti keju dihidangkan dalam cawan keramik, hadiah dari pembesar di Belanda, baru sampai lewat kapal-kapal dagang minggu lalu. Bau air laut tercium di udara. Sayup-sayup terdengar teriakan dari arah Sunda Kalapa.