Candraleka

RaaRion.
Chapter #2

Bab 1 : Kabut yang Tak Pernah Pergi

Di sebuah lereng pegunungan yang nyaris terlupakan peta, ada sebuah desa kecil yang namanya jarang disebut, bahkan oleh peta digital sekalipun. Kabut menjadi penghuni tetap di sana, seperti nafas yang tak pernah habis, mengalir di antara batang-batang pinus tua dan sawah yang basah sepanjang tahun. Orang-orang bilang, kabut itu bukan sekadar uap air, melainkan jelmaan rindu dari mereka yang tak pernah pulang.

Di desa itu, malam purnama bukan waktu untuk bersyukur atau memanjatkan doa seperti di tempat lain. Malam purnama adalah malam larangan, malam di mana pintu dan jendela ditutup rapat, lampu dipadamkan sebelum waktunya, dan suara manusia lenyap dari permukaan bumi. Hanya suara angin yang membawa bau basah tanah dan samar gamelan jauh entah dari mana.

Orang tua desa menyebutnya “Malam Candraleka,” yaitu malam di mana mata bulan menyentuh bumi, dan seorang perempuan bergaun kabut berjalan di antara batas dunia.

Tidak ada yang berani menyebut namanya keras-keras. Sebab mereka percaya, kata punya sayap, dan telinga arwah lebih peka dari manusia. Bila seseorang berani menyebut nama itu saat malam kabut turun, hidupnya akan dibayangi oleh bayang-bayang ingatan yang seharusnya tak pernah disentuh.

Desa itu hidup dalam diam, dalam ketakutan yang diwariskan dari cerita ke cerita, dari bisik ke bisik. Tak ada yang tahu kapan kisah itu dimulai. Bahkan kepala desa yang paling tua pun hanya berkata,

“Sudah ada sejak kabut pertama kali menutup matahari di desa ini.”

Maka setiap malam purnama, desa itu menjadi negeri sunyi, seakan manusia pun memilih menghilang bersama cahaya bulan.

Dan malam itu, purnama pertama di musim kabut, Nirwan datang.

***

Nirwan tiba di rumah itu dengan sebuah tas ransel dan setumpuk pertanyaan yang ia tak tahu bagaimana cara menjawabnya. Rumah tua berlantai kayu itu berdiri sendiri di ujung jalan setapak, dikelilingi pepohonan pinus yang menjulang tinggi. Cat putihnya sudah pudar, seperti memori yang terbuang. Jendela-jendela berdebu, dan pintu depan yang dulu gagah kini tergantung longgar, seperti mulut yang ingin berkata sesuatu, tetapi tak tahu harus mulai dari mana.

Ia melangkah perlahan masuk, merasakan udara dingin yang membawa bau tanah basah. Suara langkahnya bergema di lorong panjang, mengusir sepi yang telah berakar puluhan tahun.

Rumah ini milik kakeknya, seorang pria yang tak pernah ia kenal dengan baik. Kakeknya meninggal sebelum Nirwan lahir, meninggalkan rumah ini dengan segala misterinya, tak tersentuh, tak terjamah. Hanya sebuah gambar besar yang tergantung di ruang tamu, potret keluarga yang telah lapuk dimakan waktu. Dan lukisan perempuan itu, perempuan yang matanya seperti bulan sabit, memandang tajam seperti tahu segalanya, dan seakan ingin mengajak Nirwan bersembunyi di dalamnya.

Tangan Nirwan gemetar ketika ia menyentuh bingkai kayu yang sudah rapuh. Gambar itu adalah satu-satunya benda yang kakeknya tinggalkan. Di bawah gambar itu, ada tulisan yang memudar: Candraleka.

***

Malam tiba lebih cepat di desa ini, dan kabut mulai menari-nari di jendela rumah. Nirwan duduk di kursi kayu tua, matanya kosong menatap api yang melintir lemah di tungku.

Namun, meski tubuhnya terjaga, pikirannya terlempar ke tempat yang jauh. Ia mulai merasa ada sesuatu yang mengamatinya, sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih besar dari rumah ini, lebih lama dari kabut yang melilit desa. Sesuatu yang ada di luar sana, menunggu untuk ditemukan.

Lihat selengkapnya