Candraleka

RaaRion.
Chapter #3

Bab 2 : Suara di Balik Kabut

Malam turun dengan cepat di desa itu, seakan matahari enggan berlama-lama menyaksikan apa yang bersembunyi di balik kabut.

Rumah kakek Nirwan terasa lebih dingin dari biasanya, meski tungku api menyala kecil di sudut ruang. Setiap kayu yang berderak, setiap angin yang menyelinap dari celah jendela, terdengar jauh lebih nyaring dari seharusnya. Dan Nirwan merasa... rumah itu seperti bernapas.

Ia mencoba menenangkan diri dengan membaca buku-buku tua yang tersisa di lemari ruang belakang. Sebagian besar berisi tulisan tangan dalam bahasa lama, tulisan aksara yang asing tapi entah kenapa terasa akrab. Dan di antara lembaran itu, ia menemukan sesuatu.

Sebuah buku lusuh tanpa sampul. Halamannya kekuningan, dengan noda waktu yang menyebar seperti bercak darah di kertas. Di halaman pertama tertulis dengan tinta pudar:

“Candraleka: Catatan tentang yang Tak Boleh Dilihat.”

Dada Nirwan berdegup kencang.

Ia membalik lembar demi lembar, menemukan potongan cerita tentang seorang perempuan berambut hitam panjang yang selalu datang saat purnama. Wajahnya tak pernah digambarkan jelas, hanya disebutkan bahwa matanya seperti sinar bulan yang menatap dari dalam kabut. Dalam catatan itu, tertulis sebuah kutukan:

“Barang siapa menatapnya saat malam bulan penuh, jiwanya tak lagi kembali.”

Suara angin mendesir, seakan membaca bersamanya.

Lalu... suara itu pun datang... samar, pelan, seperti bisikan seorang perempuan yang tak ingin terdengar, namun sengaja membiarkan dirinya didengar.

“Nirwan…”

Tubuh Nirwan menegang. Ia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada siapa-siapa di dalam rumah. Tapi suara itu terus berulang, memanggil namanya, datang dari arah lukisan tua di ruang depan.

Dengan langkah ragu, ia mendekati lukisan itu. Matanya menatap perempuan dalam gambar, sosok yang kini terasa berbeda. Mata perempuan itu tak lagi sekadar cat di atas kanvas. Ada sesuatu di baliknya, sesuatu yang seolah hidup, yang memperhatikan, dan menunggu.

Dan seolah lukisan itu menjawab, kabut mulai merembes perlahan dari bawah pintu rumah. Kabut itu tidak seperti biasanya, lebih tebal, lebih berat, seperti memiliki wujud. Aroma tanah basah dan bunga liar memenuhi udara. Suara bisikan pun menjadi semakin jelas.

“Aku… di sini.”

Nirwan mundur satu langkah, matanya tak bisa berpaling dari lukisan itu. Di sudut bawah gambar, sebuah goresan kecil yang sebelumnya tak terlihat kini tampak:

“Aku akan menjemputmu saat malam sempurna tiba.”

"Malam sempurna? Purnama?" Pikir Nirwan.

Dan itu tinggal… dua malam lagi.

***

Malam belum benar-benar larut, tapi desa sudah tenggelam dalam keheningan yang terasa menyesakkan. Langit masih samar-samar menampakkan bulan yang mulai bulat sempurna, menyelinap di balik tirai kabut tebal yang tak kunjung pergi.

Nirwan, dengan senter tua dan jaket tipis, nekat keluar dari rumah. Pikirannya dipenuhi bisikan yang seakan masih membekas di telinga. Lukisan itu… tulisan itu… semuanya membuat pikirannya tak bisa diam.

“Aku di sini.”

Kata-kata itu seperti mengikutinya, bahkan saat ia menyusuri jalan setapak menuju rumah Pak Karno. Rumah lelaki tua itu berdiri di ujung desa, diapit pohon-pohon besar yang batangnya penuh lumut dan akar-akar yang menyembul di permukaan tanah.

Sesampainya di sana, Nirwan mengetuk pelan. Tidak ada jawaban. Hanya derak ranting yang patah di kejauhan. Ia mencoba sekali lagi.

Tok. Tok. Tok.

Masih sepi.

Lihat selengkapnya