2021
Pagi itu udara terasa sangat dingin, tak sama seperti biasanya, dari dalam ruang tamu, pemandangan indah di halaman rumah terlihat kusut akibat percikan hujan deras yang membasahi kaca jendela, suasana di dalam rumah tampak lirih, dibarengi suara siaran berita dari televisi. Seperti biasa, setiap hari Ester selalu duduk dengan muka sinis di sofa empuk miliknya, bagi Ester, siaran berita televisi adalah penawar kepenatannya.
"Jegrek!" Purnama keluar dari kamar mandi dengan handuk putih tebal di lehernya, ia terlihat segar setelah mandi dengan air hangat. Sehabis berganti pakaian di depan pintu kamar mandi, Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil kopi yang masih mendidih lalu mengaduknya sampai rata, sembulan asap dari gelas mungil itu seolah menggoda penciumannya, dengan tarikan nafas yang panjang, ia hirup aroma menyengat kopi arabika.
"Srupppt... aah!" Seruputan pertama menghangatkan tubuh Purnama yang sudah lama bergetar kedinginan.
"Tap, tap, tap!" Suara langkah kaki Purnama diiringi lagu jadul yang lirih kian membesar, ia cuek melewati Ester.
Di usia Purnama yang sudah menginjak 22 tahun, ia merasa tidak membutuhkan kehadiran orang tua lagi, ia juga tak sudi memiliki mama tiri yang terlalu muda seperti Ester. Tanpa sepatah kata seperti biasa, ia mengabaikan Ester dan berjalan menuju kamarnya, tak lupa ia mengambil sebuah buku. Itu kewajiban tersendiri baginya, Setiap hari harus ada minimal satu halaman penuh yang terisi puisi dengan kata-kata amarah di buku catatannya, tak lupa juga ia menyelipkan pensil di telinga.
Aroma Kopi arabika itu kembali menggodanya.
"Srupppt... aah!" Seruputan kedua menghantarkan Purnama pada inspirasi yang baru saja terlintas di pikirannya, ia tersenyum kecil sambil menaikan alis tebalnya sebagai tanda ia baru saja menyeduh kopi paling nikmat di dunia.
Sesampainya ia di dalam kamar, ia segera duduk, dengan sangat berhati-hati Purnama menaruh gelas yang masih terisi penuh kopi arabika dan menghadapkan tubuhnya ke muka jendela, perlahan ia menyandarkan kepala di kursi malas kesayangannya dan kembali bersyukur karena masih diberi nafas kehidupan oleh semesta.
Coretan demi coretan mulai ia tuangkan dalam buku catatannya, bagi Purnama, sastra adalah seni yang membebaskan dirinya berekspresi.
Ia terlihat sangat serius menuliskan kata demi kata, sesekali ia memejamkan mata untuk mengingat kembali kata apa yang cocok dengan kalimat berikutnya.
"Srupppt... ahh!" Lagi-lagi ia tergoda oleh aroma kopi arabika yang masih menyengat dan hangat dengan asap kecil di atas gelas mungil di sudut meja belajarnya, ya. Purnama sudah lama lulus SMA, ia ingin berkuliah di luar kota, tinggal menunggu waktu yang tepat saja untuk ia memutuskan merantau.
Ketika Purnama ingin meneguk kopi lebih banyak, tiba-tiba,
"Bruk..." Bara jatuh dari atap rumah yang baru saja ia perbaiki, suara keras itu membuat Purnama kaget, ia tersentak dan memuntahkan kopi yang baru saja ia sodorkan ke mulutnya, ampas hitam pekat melumuri kaos putih polos yang ia kenakan, ia kesal, karena di waktu yang bersamaan, Alina adiknya datang memeluknya secara agresif.
Alina yang hanya bisa menggunakan bahasa isyarat ini berdiri dengan linang air mata.