Candramawa

Glorius Maj
Chapter #3

BAB 2 : Tak Ada yang Berbeda

Purnama berjalan di trotoar pinggir jalan, ia telah sampai pada persimpangan menuju Kota, wajahnya kusut penuh keringat yang bercampur dengan air hujan, setibanya di halte, ia meremas bajunya yang basah lalu tergesa meraba tas dan membukanya yang ternyata juga basah akibat hujan, dengan cepat ia melihat jam tangan, jarum jam menunjukkan pukul 17.00, ia khawatir dan tak tahu kemana ia akan menginap karena ia juga harus mengeringkan pakaiannya.

"Telilit, Telilit," Bunyi nada panggilan masuk dari saku Purnama. Ia meraba saku celananya dan melihat nomor panggilan masuk yang ia baca; panggilan masuk ibu. Iapun segera mengangkat telefon itu, duh lelet lagi, pasti kemasukan air nih. batin Purnama saat akan menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu sambil mengusapkan layar smartphonenya di kain baju bagian dalam yang sudah cukup kering.

Saat berhasil mengangkat telefon itu, Purnama sejenak diam dan sedikit gugup, ia kira ibunya akan marah karena mengetahui masalah yang terjadi di rumah ayah kandungnya. Tentu, Purnama tidak tahu dari mana Martha bisa mengetahui peristiwa yang baru saja terjadi.

"Halo Pur.. kamu dimana, denger-denger, kamu pergi ya dari rumah ayah, sini dateng ke rumah ibu, nanti ibu masakin sayur pare kesukaanmu, ya!" ujar Martha.

"Em.. t-tapi bu,! Purnama dengan gagap ingin menjawab lalu dipotong oleh Martha.

 "Udah, ndak usah tapi-tapian, lagian kamu mau kemana, wong lagi musim hujan gini loh ya mbok di rumah aja. Ayo sini, ibu tunggu ya di rumah!" kata Martha.

Purnama masih bingung mau menjawab apa, ia juga tidak punya niat untuk datang ke rumah ibunya, karena ia tahu suasana di rumah ibunya tak jauh beda dengan rumah ayahnya, Topan juga sering marah-marah tak jelas kepada ibunya, namun disisi lain ia sadar, sudah lama ia tidak berjumpa dengan ibu kandungnya, lagi pula ia juga harus menjemur pakaian dan tasnya yang basah kuyup itu. Ia terdiam mengabaikan telfonnya sejenak.

"Halo, Pur... Pur... Adiraja Purnama.. Halo..? Kamu dengerin ibu ndak?" tanya Martha memastikan Purnama masih dalam panggilan.

"I-iya bu." jawab Purnama dengan ragu.

"Yaudah ibu tunggu di rumah ya, jangan kemaleman loh, nanti ibu ketiduran." sahut Martha sambil menutup panggilan itu.

Ibu kok tau aku suka sayur pare. Batin Purnama sambil bergegas menaiki bus yang saat itu berhenti di depannya.

Tak ada kursi kosong yang bisa ia duduki dalam bus itu, 3 jam perjalanan ia berdiri menggantungkan tangannya di tiang bus, ia mengerti, musim hujan membuat pejalan kaki memilih untuk tetap waspada dengan kesehatan dan menjaga penampilan mereka, berbeda dengan Purnama yang sangat suka dengan hujan. Karena hujan bisa mengelabui tangisan air matanya dari pandangan orang lain di sekitarnya, hanya saja saat itu perjalanan memang cukup jauh. Dalam perjalanannya ia selalu melamun, merenungkan kembali masalah yang terjadi hari itu.

Di waktu yang sama, Martha sudah bersiap-siap menunggu Purnama sambil memotong sayur pare di teras rumahnya

Purnama turun di sebuah gapura klasik lengkap dengan ukiran dan patung kembar, memasuki lorong yang sangat sunyi, tak ada seorangpun di sana, di temani gemercik hujan dan cahaya remang lampu kuning tiap rumah warga, dinginnya malam tak bersahabat, ia berjalan kelelahan menahan perut laparnya dengan kedua tangannya yang terlihat kedinginan.

Setelah sampai di depan rumah ibunya. Sebentar, Purnama berdiri memandangi tiap pagar dan dinding sudut rumah bagian depan, tak ada yang berubah. Ia bernostalgia tentang masa lalu.

Rumah yang dulu ia tempati sebelum ayah dan ibunya berpisah, masih berdiri kokoh dan terawat, dengan raut wajahnya yang datar ia berjalan perlahan ke arah taman, melihat bunga melati yang ia tanam saat kecil dulu, masih tumbuh segar bahkan lebih banyak jumlahnya di halaman rumah. Saat ia ingin memetik satu bunga melati, tiba-tiba.

"Itu pohon pertama yang kamu tanam dulu." kata Martha tersenyum simpul membuat Purnama sedikit kaget. Ternyata Martha mengamati Purnama di teras yang terhalang oleh tembok, ia sudah lama duduk di sana menunggu Purnama, tepat di meja dan kursi yang masih awet dengan tulisan bekas corat-coret Purnama sebelum genap usianya yang ke 6 tahun.

Lihat selengkapnya