Purnama berjalan dalam gelapnya malam, lebih dingin dari sebelumnya, seluruh tubuhnya menggigil sampai harus menggosok telapak tangannya untuk mendapat kehangatan, sesekali ia menengok kebelakang, berharap ada mobil atau motor yang dapat memberinya tumpangan, namun tak ada satupun kendaraan yang melewati jalan itu, padahal jalan yang ia lalui merupakan akses terpadat saat siang, langkahnya tersendat tertatih, tasnya yang berat karena basah membuatnya semakin sempoyongan. Hingga datang seorang Hansip dengan sepeda dan senter di tangannya hendak menghampiri Purnama.
"Selamat malam kaka, kaka mau kemana kah?" tanya Hansip yang berlogat timur itu. Namun Purnama masih diam dan meneruskan langkahnya yang semakin ringkih bergetar kedinginan, ia hampir pingsan tak sadarkan diri, seolah tak mendengar dan menyadari keberadaan Hansip di sebelahnya, segera Hansip itu turun dari sepeda dan memapah Purnama karena khawatir Purnama akan jatuh pingsan. Seketika Purnama kaget karena Hansip yang tiba-tiba saja memeggang tangannya.
"E-eh kenapa pak?" tanya Purnama sambil tersentak dan menarik tangannya.
"Oh trada kaka, kaka ni macam sakit kah, kaka mau kemana kah, mari sa antar sudah, kasian sio, kalo kaka jatuh pingsan di sini trada yang bisa tolong kaka ni. malam ni, sepi." ujar Hansip itu meyakinkan Purnama. Purnama juga tak ada pilihan lain, ia pun menerima tawaran Hansip itu.
"I-iya makasih!" jawab Purnama dengan lesu dan raut mukanya yang pucat.
Lalu Hansip itu membonceng Purnama, dalam perjalanan, Hansip yang kerab disapa Pace itu selalu menanyakan tujuan Purnama, namun Purnama hanya diam membisu, matanya mengisyaratkan keputusasaan, entahlah, mau kemana ia pergi terserah si Pace akan mengantarkannya kemana.
Ia sampai di sebuah kos-kosan, di sana ia bertemu langsung pada pemiliknya, biasa, ibu kos dengan raut muka yang galak dan tak pernah lepas dari konde sisir di rambutnya.
Pace menitipkan Purnama di Bu Sri, ia tahu bahwa Bu Sri juga suka menolong meski kadang omongannya kasar.
"Pace, ini anaknya siapa?" sambut Bu Sri sedikit kebingungan.
Purnama semakin tak tahan, matanya semakin sayup, dalam benak merindukan selimut, mulutnya seolah mencari teh hangat.
"Aduh kasian, ayo dek masuk, untuk sementara malam ini kamu istirahat dulu di kamar kos ini yaa, yaa tetep bayar kalo mau lanjutin, tunggu saya ambilin air hangat sama bantal buat kamu." kata Bu Sri sambil melirik pace karena kebingungan. Pace yang saat itu masih ada jam kerja, segera berpamitan dengan Bu Sri untuk melanjutkan tugasnya sebagai Hansip, yang lalu Bu Sri memberikan rantang berisi gorengan untuk bekal Pace di jalan.
Malam itu Purnama tidak langsung tidur, ia membereskan pakaiannya yang basah, tanpa baju dan hanya memakai celana pendek, ia menjemur semua bajunya di teras kos-kosannya, dalam heningnya suasana di temani nyanyian jangkrik dan remang cahaya lentera, ia tegar, berusaha untuk tidak terlihat lemah. Satu persatu ia remas bajunya sampai diremasan terakhir ia akan menjemur bajunya yang baru saja ia kenakan, ia menarik sebatang pohon melati dari balik kain bajunya, teringat saat percakapan dengan ibunya tadi ia diam-diam mencabut pohon melati puspa kesayangannya, ia patahkan bunganya untuk disimpan lalu ke dapur dan merebus akarnya, tak lupa ia mengeringkan buku catatannya yang ia bawa, di atas api kompor lengkap dengan pensil yang selalu ia selipkan di telinga. Matanya terjaga memerah ingin segera tertutup, setelah rebusan itu selesai, ia segera menuangkanya kedalam muk almunium bekas air hangat yang diberi oleh Bu Sri tadi.
Di sudut ruangan dekat jendela, tempat favoritnya memang jendela, di sana ia mulai menuliskan puisinya;
Malam ini ku seduh secangkir rebusan jasminum sambac melati puspa,
aku berterimaksih padanya,
telah menghangatkan seluruh sendi
dan rongga dadaku,
aliran kesegaran harumnya