Meski telah berusaha sekuat tenaga, ada saat-saat di mana kita merasa jatuh, tapi tetap harus bangkit.
"GILA, ya! Apa-apa Gen Z, apa-apa Gen Z! Ngga bisa pada introspeksi diri apa gimana sih, bingung gue!” keluh Raisa dengan suara khasnya, mengentak suasana hangat di sudut caffe yang dihiasi temaram lampu kuning. Ia baru saja menutup aplikasi media sosial di ponselnya dengan ekspresi kesal, menyesap cappuccino yang sudah setengah dingin.
“Apa lagi sih, Sa?” tanya Alya sambil memiringkan kepala. Ia menyentuh ujung sedotannya pada gelas iced matcha latte, penasaran tapi malas membayangkan drama dunia maya yang sering kali di luar logika.
“Liat aja, ya! Di kantor ini salah, di kantor itu salah, yang kena imbas pasti kita! Katanya Gen Z males kerja lah, ga punya loyalitas lah, blablabla. Padahal ya, mereka lupa siapa yang ngebentuk sistem kerja toxic itu? Kan mereka juga!” Raisa menjelaskan dengan tangan yang ikut bergerak, seolah menekankan isi hatinya.
“Astaga, Sa. Santai napa? Udah, tarik napas dulu. Lo bisa kena maag tuh kalo marah-marah terus,” sindir Atika sambil tertawa kecil. Ia mengaduk-aduk es kopinya dengan sendok kecil, suara dentingan halus itu sedikit mengimbangi nada tajam Raisa.
“Gue setuju sih sama Raisa. Dikit-dikit Gen Z. Gue heran kenapa angkatan mereka nggak mau ngaku kalo budaya overwork itu udah dari zaman mereka dulu?” ujar Alya dengan nada setuju.
“Tapi, lo sadar nggak, sebenernya mereka tuh iri sama kita,” celetuk Atika tiba-tiba.
“Hah? Iri?” Raisa menaikkan alis, ekspresinya campuran antara skeptis dan penasaran.
"Bisa jadi sih, mereka itu iri karena kita berani nolak kerjaan yang nggak masuk akal. Kita bisa ngelawan, bisa bikin batasan. Sedangkan mereka, ya… kerja ampe tua buat buktiin diri, tapi nggak sempet nikmatin hidup,” lanjut Raisa sambil menaikkan bahunya, seperti mengatakan bahwa ia juga masih ditahap mungkin.
“Kasian juga sih sebenernya,” Raisa memandang kedua sahabatnya itu.
“Itu lo paham.” Celetuk Atika sambil mengetuk-ngetuk ujung sendoknya ke bibir cangkir.
“Bisa jadi sih,” kata Alya.
“Tapi tetep aja kesel. Soalnya gue yang ngejalanin, gue yang diomongin juga. Kan aneh.”
“Ya udah, Sa. Kita kasih liat aja hasil kerjaan kita. Lama-lama mereka juga bakal diem sendiri. Mau ngomong apa lagi kalo bukti udah ada? Yakan?” Atika menyemangati sambil tersenyum.
Raisa akhirnya menghela napas panjang, kemudian bersandar di kursinya. “Iya juga sih. Tapi kalau next time gue baca drama lagi, lo pada harus dengerin gue ngoceh, ya!”
Ketiganya pun tertawa kecil. Dari luar, hangatnya obrolan mereka seolah menguap bersama aroma kopi yang memenuhi ruangan caffe itu.