Capek, Tapi Harus Jalan Terus

Atika Winata
Chapter #2

BAB 2 — Monoton



Terkadang dunia memaksa kita untuk menghadapi kenyataan yang jauh dari yang kita bayangkan.




LANGKAH kaki Raisa terdengar berat saat menapaki tangga menuju pintu rumahnya. Malam itu udara begitu dingin, seolah-olah ikut menggambarkan perasaannya yang kerap kosong. Dia menghela napas panjang sebelum meraih gagang pintu.


Klek – Klek!


Raisa memasukkan kunci ke lubang pintu. Begitu pintu terbuka, udara dingin dari dalam menyambutnya. Raisa terdiam di ambang pintu, matanya menatap ke ruang tamu yang gelap. Lampu belum sempat ia nyalakan, namun ia tahu, tak ada siapa-siapa di dalam. Tas yang ia jinjing sedari tadi diletakkan begitu saja di lantai, membiarkan beban itu jatuh dari pundaknya. Raisa berjalan dan segera menyalakan lampu ruang tamu, membuat bayangan dirinya tampak di cermin yang tergantung di dinding. Pandangannya kosong.


Gadis itu melangkah perlahan ke sofa. Tubuhnya tenggelam dalam kesunyian rumah yang tak pernah benar-benar terasa hangat. Ia memeluk lututnya, mencoba menenangkan diri. Namun, yang ada hanyalah keheningan yang semakin menekan.


“Sampe kapan gue begini terus?” bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.


Ia mendongak, menatap jam dinding yang berdetak monoton. Waktu terus berjalan, tapi entah kenapa, hidupnya terasa stagnan. Hanya rutinitas yang sama, rumah yang sama, dan kesunyian yang selalu menunggu.


Terkadang, ia membayangkan bagaimana rasanya pulang ke rumah yang penuh suara tawa atau seseorang yang menyapanya hangat. Tapi kenyataan selalu menyadarkan Raisa: dia hanya punya dirinya sendiri.


Malam semakin larut, udara di dalam rumah semakin dingin. Raisa menghela napas panjang, bangkit dari sofa, dan berjalan menuju jendela. Ia membuka tirai, membiarkan sedikit cahaya bulan masuk.


Raisa baru saja meletakkan tubuhnya di atas kasur, namun tiba-tiba suara dari ponselnya itu berbunyi. Ia mengernyit, menoleh ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih nyaring di telinganya yang sudah terbiasa dengan keheningan. Dengan malas, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas tumpukan buku. Layarnya menyala, memperlihatkan sebuah notifikasi dari salah satu aplikasi kencan yang dia unduh beberapa minggu lalu.


Hai, kamu keliatan menarik. Lagi sibuk?


Begitu bunyi pesan singkat yang muncul.


Raisa terdiam sejenak, menatap pesan itu tanpa ekspresi. Ini bukan pertama kalinya ia mendapat pesan semacam ini, dan ia tahu, mungkin ini juga bukan yang terakhir. Aplikasi-aplikasi itu memang sudah menjadi pelariannya belakangan ini. Bukan karena ia benar-benar ingin menemukan seseorang, tapi hanya untuk mengusir rasa sepi yang sering menyergap di malam-malam seperti ini.


Dia membuka aplikasi tersebut, dan dalam hitungan detik, layar ponselnya dipenuhi dengan wajah-wajah asing yang tersenyum. Beberapa pesan lain menunggu untuk dibuka, semuanya dari orang-orang yang mencoba memulai percakapan. Raisa menarik napas panjang, lalu mengetik balasan singkat.


Halo, free sih. Kamu?


Lihat selengkapnya