Dulu, gue nggak pernah takut sama hidup. Tapi sekarang, sekarang gue takut banget.
- Raisa
KETIKA motor mulai melaju, angin pagi menyapu wajahnya, menyisakan suara knalpot yang samar di antara kebisingan jalanan. Ia menatap lurus ke depan, tapi pikirannya melayang ke semalam. Di kamarnya yang remang, dengan lampu meja menyala redup, Raisa berusaha menulis isi hatinya. Jari-jarinya menari di atas kertas, mencurahkan semua yang tak bisa ia ucapkan. Tentang perasaan kosong yang selalu mengendap di dadanya. Tentang betapa ia ingin berbicara, tetapi tak tahu kepada siapa.
#Raisa POV
Gue ngga tau kapan tepatnya gue mulai merasa bahwa rumah bukan lagi tempat untuk pulang. Mungkin sejak gue menyadari bahwa rumah ini ngga lebih dari sekadar bangunan tempat orang-orang singgah. Ayah dan ibu, iya, mereka bukan pasangan yang bertengkar hebat atau saling membenci, tapi mereka hanya dua orang asing yang kebetulan tinggal bersama, menjalani hari-hari seperti mesin yang bekerja sesuai jadwal.
Setiap pagi, mereka pergi bekerja. Setiap malam, mereka pulang dengan kelelahan yang sama. Ngga ada percakapan, ngga ada basa-basi. Semua berjalan seperti template yang udah ditetapkan bertahun-tahun lalu. Mereka bekerja, dan kami, anak-anaknya, sekolah.
Setelah itu? Urusan masing-masing.
Gue ngga tau definisi sosok ayah itu seperti apa? Tapi menurut gue, Ayah belum bisa dikatakan benar dalam menjalani perannya sebagai ayah. Gue akui, beliau keren, beliau hebat, tapi enggak ketika di rumah. Baginya, tanggung jawab terhadap anak-anak bukanlah urusannya. Semua beban itu ada di pundak ibu.
Tapi, entahlah, gue juga belum cukup mengerti—bahwa ibu juga tidak benar-benar menjadi ibu. Bukan karena ia tidak peduli, tapi.. gue tau, ibu pun merasakan capek yang berlebih.
Salah nggak sih kalo gue berharap? Gue ngga pernah merasakan hangatnya sosok ibu seperti yang sering diceritakan orang lain, ngga ada pelukan ketika gue pulang sekolah, ngga ada pertanyaan tentang bagaimana hari-hari yang gue lalui.. iya, Ibu ada, tapi kehadirannya seperti bayangan—terlihat, tapi ngga terasa.
Kadang, gue bertanya-tanya, apakah mereka sadar bahwa gue tumbuh dengan menyaksikan kehampaan di antara mereka? Apakah mereka tahu bahwa ketidakmampuan mereka untuk berkomunikasi membuat gue takut akan sebuah hubungan?
Bukan, bukan takut yang ngga bisa memulai suatu hubungan, tapi takut terhadap diri sendiri.
Raisa terhenti, pandangannya keluar balkon dengan tatapan yang kosong.
Takut!