Capek, Tapi Harus Jalan Terus

Atika Winata
Chapter #4

BAB 4



TERLIHAT dua gadis kecil mengenakan seragam putih-merah, wajah mereka ceria dan penuh kebahagiaan. Atika Mahda, dengan mata yang indah—cerah, tegas, sekaligus menenangkan. Kulitnya putih, rambutnya hitam pekat dengan sedikit gelombang, menambah pesonanya. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya perempuan, sementara yang kedua laki-laki. Ayahnya dulu seorang Buddhis keturunan Tionghoa yang kemudian menikah dengan ibunya, wanita asli Jepara, Jawa Tengah.


Di sebelahnya, ada Raisa, sahabat kecilnya. Mereka telah berteman sejak sekolah dasar. Sebenarnya, dulu ada satu lagi dalam lingkaran persahabatan mereka—bukan Alya, melainkan Keila, si ekstrovert yang selalu membawa energi positif. Keila adalah sosok yang menyenangkan, pemecah suasana, dan tanpa dirinya, mungkin persahabatan mereka tidak akan seseru itu.

Orang-orang dulu menyebut mereka Tri C : si Cantik - Raisa, si Cerdas - Atika, dan si Ceria - Keila. Namun, setelah kelulusan, jalan mereka mulai berpisah. Raisa dan Atika kembali bertemu di junior high school, tapi tanpa Keila.


"Akhirnyaaa!" seru Atika penuh semangat. "Akhirnya sampai jugaa!" lanjutnya, menoleh ke arah Raisa dengan wajah lega.


Raisa mengedarkan pandangan, matanya berbinar penuh rasa penasaran. "Ini seriusan? Rumah kamu di dekat sini?" tanyanya memastikan.


Atika mengangguk mantap. "Iyalah, serius! Nggak mungkin juga aku berhenti di sini kalo bukan rumahku, kan?" candanya sambil tertawa kecil.


Raisa terkekeh, lalu menghela napas. "Iya juga sih... tapi kok aku baru tahu sekarang? Padahal rumahku juga lumayan dekat dari sini!" ujarnya dengan nada sedikit terkejut.


Atika menoleh cepat. "Beneran?" tanyanya antusias. "Emang di mana?"


Raisa mengangguk semangat. "Itu loh, tadi kita kan lewat minimarket di depan." Ia menunjuk ke arah minimarket yang masih terlihat dari tempat mereka berdiri. "Nah, di belokan kanan situ. Tinggal lurus aja, nggak jauh kok!" jelasnya penuh keyakinan.


Atika membelalakkan mata, tampak tak percaya. "Seriusan?! Deket banget dong! Kok kita baru nyadar sekarang, ya?"


Raisa cengengesan. "Iya, aku juga heran. Padahal sering banget lewat sini!"


Atika tertawa geli. "Duh, kenapa nggak dari dulu aja kita pulang bareng?"


Raisa ikut tertawa, merasa konyol sendiri. "Iya, ya! Ternyata kita selama ini tetanggaan tapi nggak sadar!"


Atika menarik tangan Raisa. "Udah, ayo ke rumah dulu!"


Raisa mengangguk antusias, mengikuti Atika masuk ke dalam gang.


Atika berhenti di rumah ketiga dari pojok terakhir. Rumahnya tampak sederhana, namun nyaman, cukup untuk sebuah keluarga di tengah hiruk-pikuk Jakarta. Pagar putih yang sedikit berdebu membingkai halaman depan, memberi kesan bersih dan rapi.


Lihat selengkapnya