Capek, Tapi Harus Jalan Terus

Atika Winata
Chapter #5

BAB 5 - RUMAH

Sebuah rumah yang terlihat berdiri kokoh, padahal kehangatannya sudah lama runtuh.


- Atika Mahda


WAKTU masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Di dalam kamarnya yang cukup luas, Atika sudah duduk tegak di depan layar laptop, bersiap mengikuti kelas kuliah daringnya. Matanya menatap layar dengan fokus, sementara jemarinya sesekali mengetik di keyboard, memastikan semua yang dibutuhkan sudah siap.

Ruangan ini dulu bukan miliknya seorang. Kakak perempuannya—Sheila—lebih dulu berbagi tempat dengannya, hingga akhirnya menikah dan pindah. Sekarang, meskipun kamar ini terasa lebih lega, ada saat-saat di mana Atika merasakan kekosongan yang aneh. Tapi untungnya Sheila masih sering berkunjung, membawakan beberapa camilan dan melakukan rutinitas bersama—marathon drama.


Hari ini ada ayahnya, pulang setelah sebulan tidak berada di rumah. Namun, bagi Atika, kepulangannya tak lagi membawa rasa hangat seperti dulu. Ia sudah terlalu terbiasa dengan kepergian itu—dengan rumah yang hanya berisi ibu, kakak, dan dirinya, dengan ruang makan yang sepi, dengan obrolan yang selalu berputar di sekitar kewajiban dan tuntutan.


Ia menghela napas, menatap layar laptop yang menampilkan jadwal perkuliahannya hari ini. Jari-jarinya menggulung kabel earphone, bersiap memasangnya di telinga. Fokusnya sudah jelas. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Targetnya bukan sekadar lulus, tapi lulus tepat waktu dengan nilai yang memuaskan. Ini bukan sekadar ambisi, tapi prinsip yang ia pegang teguh sejak awal masuk kuliah. Tidak ada ruang untuk malas atau menunda—ia sudah memutuskan untuk berjalan di jalur ini dengan penuh keseriusan.


Tak ada ruang untuk memikirkan hal lain, apalagi sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.


Sejenak, Atika menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Ia menyesuaikan posisi duduknya, meraih catatan yang sudah disiapkan di samping laptop, lalu kembali menatap layar.

Namun, baru saja ia hendak mengenakan earphone, suara bentakan mendadak pecah dari luar kamar.


"Jadi, kamu maunya apa, Mas?! Pulang cuma buat pergi lagi?!"


Atika menegang. Napasnya tertahan sejenak, sementara telinganya menangkap suara ibunya yang melengking marah.


"Aku kerja! Aku cari uang buat keluarga ini! Kamu pikir aku di luar sana enak?!" suara ayahnya membalas, sama tajamnya.


Atika menutup mata sejenak, jari-jarinya mencengkeram ujung meja. Ia tidak perlu melihat untuk tahu apa yang sedang terjadi di ruang tamu. Pertengkaran ini bukan yang pertama, dan ia yakin juga bukan yang terakhir.


"Buat keluarga ini?" suara ibunya terdengar penuh sindiran. "Atau buat orang lain di luar sana?"


Sunyi sejenak.


Lalu suara ayahnya terdengar lebih rendah, nyaris geram, "Kamu jangan mulai nuduh yang nggak-nggak, Rin."


"Nggak-nggak? Kamu pikir aku bodoh?"


Braak!

Lihat selengkapnya