Tidak ada yang lebih indah dari pernikahan yang diiringi oleh restu, diterima dengan tangan terbuka oleh dua keluarga, dan dirayakan dalam kebahagiaan gak terduga.
Tidak ada yang lebih menenangkan daripada seorang suami yang berdiri teguh di sisi istrinya, menjaganya dari segala badai yang mungkin menerpa, dari penolakan yang menyayat.
Tapi kenapa ada begitu banyak yang terluka dalam pernikahan?
Pernikahan yang dulu dianggap suci sering kali berubah menjadi sangkar yang merenggut kebebasan. Tempat yang semestinya menjadi rumah, justru berubah menjadi ruang hampa yang dipenuhi kesunyian.
Seorang istri yang dulu bermimpi tentang kehidupan penuh cinta kini hanya bisa menahan napas dalam diam, menghindari percikan konflik yang bisa meledak kapan saja.
Seorang suami yang dulu bersumpah untuk melindungi, perlahan berubah menjadi seseorang yang bahkan tidak ia kenali.
Di luar, mereka tampak baik-baik saja. Tertawa bersama di hadapan keluarga besar, tersenyum di depan teman-teman, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi di balik pintu rumah mereka, di dalam empat dinding yang menjadi saksi, ada pertengkaran yang tak pernah selesai, ada luka yang tak pernah sembuh, ada air mata yang mengalir tanpa suara.
Bukankah pernikahan seharusnya menjadi tempat pulang?
Bukankah itu adalah rumah, tempat di mana seseorang bisa menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi, tanpa harus bersembunyi di balik topeng kebahagiaan palsu?