Pertengahan tahun 2021 adalah akhir dari new normal yang selama ini sama mencekiknya dengan kehidupan Caleb dalam keluarga Tjahjana. Seharusnya matahari bersinar terang menyambut kebebasan Caleb dari keluarganya, tapi yang datang justru langit mendung dan gerimis. Perpaduan kelam tersebut dengan setia mengiringi perjalanan Caleb dari apartemen barunya menuju Centra Capital (CC).
Caleb menepis beberapa butir air hujan yang menempel pada jas hitam miliknya, rambut yang telah tertata rapi jadi sedikit berantakan. Hari ini ia tak lagi menggunakan mobil pribadinya. Sesuai dengan kesepakatan yang sudah Caleb sepakati dengan ayahnya, efektif per hari ini Caleb tidak lagi menggunakan fasilitas milik keluarganya. Bahkan Caleb dimutasi dari pusat ZENTECH yang terletak di kawasan elit Epicentrum ke cabang yang nyaris bangkrut di kawasan pasar modal. SYNTECH, anak perusahaan milik Keluarga Tjahjana yang satu itu merupakan kesempatan terakhir Caleb untuk mendapat kepercayaan dari ayahnya. Namun bukan untuk itu Caleb menyanggupinya, ia hanya tidak ingin menambah penderitaan wanita yang sudah melahirkannya di tempat itu.
Rumah Keluarga Tjahjana layaknya replika Penjara Alcatraz yang sengaja dibangun di Indonesia, sangat mencekik. Tidak ada kenangan indah di rumah itu selain keberadaan ibunya, satu-satunya alasan kenapa Caleb tidak melarikan diri.
Caleb berusaha duduk dengan nyaman di bus kota yang cukup lengang, tapi perhatiannya terpaku pada seorang gadis yang tengah bersenandung lirih di sisi lain kursi penumpang. Caleb tak mengalihkan tatapannya barang sedetik, rambut cokelat gadis itu dicepol sedemikian tinggi dengan hiasan menyerupai rumput liar di sekelilingnya. Sebagian rambut yang terlalu pendek lolos dan memberikan efek natural pada riasan rambut gadis itu. Leher yang kurus dan jenjang membuat gadis itu semakin menarik untuk Caleb amati, hidung mungil yang agak mancung memperlihatkan kecantikan khas Asia. Namun Caleb bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat gadis itu bersenandung dengan wajah yang begitu sendu? Mata bulatnya terlihat sayu saat menatap rinai hujan dari balik kaca bus.
"You can pretty lie and say it's okay
You can pretty smile and just walk away
Pretty much fake your way through anything
But you can't cry pretty" (Cry Pretty - Carrie Underwood)
Apakah dia sedang bersedih?
Caleb menggelengkan kepalanya. Tak ada gunanya memperhatikannya, gadis itu bukan tipenya.
"Ah, kenapa juga gue harus merhatiin dia?" gumamnya pada diri sendiri.
Namun, Caleb tak tahan untuk tidak menatap gadis itu lagi, sekali lagi kepalanya menoleh ke kiri mengamati gadis itu. Celakanya mata mereka kini bertemu, gadis itu sepertinya menyadari tatapan Caleb sejak tadi. Gadis itu melepas salah satu penyuara telinganya, menatap Caleb dengan penuh tanda tanya. Caleb jadi serba salah, ia tak tahu harus berkata apa sehingga hanya mampu memberikan senyum canggung pada gadis itu. Gadis itu menyunggingkan senyum enggan ke arah Caleb dan kembali menyumbatkan penyuara telinga miliknya. Sekarang Caleb jadi segan untuk menatap gadis itu lama-lama, hanya lirikan singkat untuk memuaskan rasa penasaran. Pertamakalinya dalam hidup Caleb untuk merasa begitu segan untuk memandang seorang gadis.
***
Gerimis tak kunjung reda, hujan justru semakin menjadi-jadi menghantam tiap sisi kaca jendela. Setelah menempuh perjalanan selama 40 menit membelah Kota Jakarta, bus itu akhirnya berhenti di salah satu shelter yang tak jauh dari gedung SYNTECH. Caleb mendengus keras. Saat new normal akibat Covid19 berakhir, ia justru baru memulai new normal yang lain. Jangankan mobil, payung saja Caleb tak punya. Akibatnya ia harus memutuskan berlari menerobos hujan. Caleb menyambar tasnya dan hendak berdiri. Namun gadis sejak tadi ia amatai mendahuluinya, ia keluar sambil menenteng payung berwarna kuning cerah di tangan kanan. Tujuan mereka ternyata sama dan setelah Caleb perhatikan lebih teliti gadis itu memakai kalung serta name tag milik perusahaannya. Benda berwarna merah hitam yang melingkar pada lehernya itu menampilkan logo yang sangat familar untuknya, SYNTECH.
"Hei, tunggu!" tanpa pikir panjang Caleb menahan bahu gadis itu hingga ia tersentak ke belakang nyaris kehilangan keseimbangan.
Caleb sendiri terkejut dengan tindakannya, betapa bodoh dan memalukan. Gadis itu menoleh padanya dengan ekspresi datar, ia memiringkan kepala dan membuang napas perlahan.
"Apa?"
"Anu, lo mau ke sana kan?" tanya Caleb sambil menunjuk gedung tertinggi di Central Capital.
Setelah memastikan gedung yang dimaksud gadis itu mengangguk pelan.
"Gue nebeng ya?"
Dalam kondis normal Caleb tidak akan sesopan ini, tapi dari awal gadis ini berhasil membuatnya canggung.
Gadis itu menatap Caleb dari atas hingga ke kaki, lalu secara tak terduga ia menyerahkan payungnya pada Caleb.
"Lo pake aja, gue bisa lari kok dari sini."
Tanpa memberi Caleb kesempatan untuk meresponse, gadis itu berbalik dan berlari menjauh. Caleb ternganga, tak menyangka gadis itu sangat cuek dan menyerahkan payung miliknya begitu saja. Aneh tapi nyata, Caleb jadi merasa bersalah. Tanpa pikir panjang ia melangkah untuk menyusul gadis yang sebentar lagi melewati atap shelter dan menerobos hujan pagi itu. Secara spontan dari belakang Caleb menyangkutkan payung yang sudah mengembang ke wajah gadis itu, akibatnya lagi-lagi gadis itu nyaris jatuh.
Gadis itu menepis payung yang menutupi wajahnya dengan kasar, kemudian berbalik menatap Caleb. Wajahnya sangat kesal.
"Lo gila ya?!"
Caleb salah tingkah. Untung saja mata gadis itu tidak sampai tercolok ujung-ujung payung yang tajam, "Sorry..." ujarnya menyesal.
Gadis itu kini sibuk menata rambutnya yang sedikit berantakan, sementara Caleb menyusun kalimat di dalam kepalanya untuk mencairkan suasana mereka.
"Sorry," ulangnya lagi, "Gue cuma mau ngajak lo barengan aja. Kan niatnya tadi gue nebeng, bukan minta payung lo." Terang Caleb.
"Kan udah gue bilang, lo pake aja payungnya. Gak perlu mikirin gue." Tukas gadis itu cepat.
Gadis itu masih menatapnya dengan kesal, tapi ia tak berbicara lagi. Mengungat waktu berjalan dengan cepat, Caleb tidak mau mereka terlambat.