Menangis selama hampir satu jam membuat kondisi tubuhku yang mulai sehat kembali memburuk. Kepala yang berdenyut serta hidung tersumbat menemaniku berangkat ke sekolah hari ini.
Pukul setengah sepuluh, kupikir belum ada orang yang datang, tapi gadis itu berada disana. Reya menyambutku dengan senyum ramah dan entah siapa yang memulai hingga akhirnya aku duduk di sampingnya. Siswa-siswi yang mengikuti latihan untuk OSN hanya ada lima belas orang dari seluruh kelas X hingga XI.
Sebenarnya lima belas orang yang mengikuti kelas untuk OSN juga merupakan para siswa penerima beasiswa sepertiku. Mungkin hanya Reya satu-satunya anak orang kaya yang mau repot mengikuti kegiatan seperti ini.
Gadis itu juga selalu menyebar senyum ramah dan bersikap terbuka pada semua orang. Caranya bersosialisasi sangat alami. Sepertinya ia benar-benar dibesarkan dalam lingkungan yang baik. Semua orang menyukai sifatnya yang supel, ceria, cerdas, juga mudah bergaul.
Meski tidak menginginkannya, aku merasa kesal. Dunia seolah hanya berpihak pada mereka, bukan padaku. Kenyataan bahwa mereka semua baik-baik saja tanpaku adalah takdir paling mengerikan yang harus kuhadapi. Aku masih mencoba berlari dari luka yang mereka torehkan, tapi bagaimana bisa mereka semua hidup dalam kebahagiaan?
"Jangan melamun, Deira." Bisikan pelan membuat lamunanku buyar. Aku mencoba tersenyum simpul meski tentu saja gadis itu tidak bisa melihatnya, mencoba menghapus perasaan tidak menyenangkan yang sepertinya akan mengacaukan segalanya.
Bagaimanapun, aku harus fokus pada olimpiade kali ini dan segera menjauh dari segala hal tentang Reya.
***
Kak Seira belum pulang, yang artinya aku akan sendirian lagi di rumah. Setelah seharian hanya berkutat dengan buku-buku dan mendengarkan penjelasan dari guru pembimbing, akhirnya aku bisa bernapas lega. Hari ini terasa lebih melelahkan karna pikiranku yang selalu terbang entah kemana.
Kondisiku membaik, hanya saja tenggorokanku masih sangat sakit. Tadi pagi, aku benar-benar pergi ke rumah itu dan bahkan menangis. Kehadiran Reya dan Adit di sekolah membuatku benar-benar tidak nyaman. Padahal delapan tahun ini aku selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja agar Kak Seira tidak cemas.
Aku belum sempat melihat bagaimana wajah Adit sekarang, tapi pasti ia juga tumbuh menjadi laki-laki yang tampan. Aku berdiri di depan cermin, menatap bayangan seorang gadis berusia enam belas tahun yang sepertinya sangat iri dengan kehidupan bahagia orang lain.
Sebenarnya darimana semua ini bermula? Aku tidak tahu apa benar wajahku mirip dengan lelaki itu atau memang aku bukanlah siapa-siapa hingga ditinggalkan sendiri. Dulu kupikir hidup hanya akan dipenuhi kebahagiaan karna kami terus bersama dan tidak terpisahkan. Tapi sepertinya itu hanya angan anak-anak semata.
(Flashback)
Delapan tahun lalu ...
"Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday Mia, Dio, Reya .... Happy birthday to you ..."
Seorang wanita tersenyum lembut seraya bertepuk tangan setelah selesai menyanyikan lagu, menatap satu per satu anak yang juga tengah tersenyum bahagia.
"Bunda, lilinnya udah boleh ditiup?" Satu-satunya anak lelaki disana menatap dengan polos, membuat wanita yang berstatus 'Ibu' itu tersenyum hangat.
"Boleh, dong. Sebelum tiup lilin kalian berdoa dulu," ucap wanita itu bersemangat seraya mengepalkan kedua tangan di depan dada, mengajari putra-putrinya yang dengan patuh langsung mengikuti.
Salah satu anak perempuan di sana menatap sang ibu sebentar sebelum memejamkan mata dan mulai berdoa. Ini adalah ulang tahunnya yang ke delapan. Hanya ada mereka berempat seperti tahun-tahun sebelumnya. Gadis kecil itu tidak mengerti kenapa mereka tidak punya ayah, tapi juga tidak berani bertanya lagi pada sang ibu yang biasanya akan langsung memasang raut sedih ketika ditanya.
Wanita berambut panjang yang sudah menjadi orangtua tunggal sejak delapan tahun itu menatap satu per satu sumber kebahagiaannya. Sebuah hal yang sangat langka bisa memiliki tiga anak kembar sekaligus. Wanita itu tersenyum dan ikut memejamkan mata, berdoa semoga ia bisa terus membahagiakan putra-putri kebanggaannya.
Tiga anak berusia delapan tahun itu membuka mata, tersenyum seraya mendekat pada lilin berbentuk angka 8 di hadapan mereka dan meniupnya bersamaan.
"Selamat berusia delapan tahun anak-anak Bunda," ucap wanita bersurai panjang seraya mengusap sayang putra-putrinya. "Sekarang waktunya kita makan kue."
"Yeay, akhirnya makan!" Anak perempuan berambut pendek bertepuk tangan.
Rumah dua lantai bercat putih itu tampak ramai dengan canda dan obrolan ringan yang terdengar menyenangkan. Sebuah keluarga sederhana yang hanya berisi seorang wanita dan tiga anak kembar.
Almia Eka Hamisha, Aditya Dwi Hamesha, dan Athreya Tri Hamisha. Ketiganya diberi nama berurutan sesuai dengan siapa yang terlahir lebih dulu.
"Mia, kok tiba-tiba mukanya murung gitu? Kuenya enggak enak?"
Anak perempuan pertama di keluarga itu mendongak, airmatanya menggenang siap tumpah. Hari ini entah kenapa gadis kecil itu ingin terus menangis.
"Mia masih sedih karna temen-temen bilang kita enggak mirip?"
Satu-satunya wanita dewasa di rumah itu menoleh pada pertanyaan spontan yang dilontarkan putranya.
"Siapa yang bilang begitu?" Wanita itu mengusap lembut rambut gadis pertamanya yang kini sudah menangis tanpa suara.