Cara Hujan Menutup Luka

Agura Senja
Chapter #6

Senja dan Kenangan

Fisika, Kimia, Biologi, Matematika dan Bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang akan dilombakan dalam olimpiade yang sekolah ikuti tahun ini. Setiap jurusan biasanya hanya mengirim satu orang perwakilan. Karna aku berasal dari kelas bahasa, logisnya aku hanya punya punya kesempatan untuk mewakili Bahasa Inggris atau Matematika.

Tapi sekolah memiliki kebijakan yang membebaskan setiap siswa untuk memilih sendiri mata pelajaran apa yang ingin diikuti dalam olimpiade. Tahun lalu, meski aku satu-satunya dari jurusan Bahasa yang mengikuti kegiatan ini, tanpa diketahui siapapun awalnya, aku memilih pelajaran Fisika ketika olimpiade. Meski hanya mendapat juara 3, setidaknya aku bisa melakukannya walau Fisika bukan berasal dari jurusanku.

Sejak pagi banyak yang bertanya bagaimana perasaanku tentang Reya. Karna gadis itu memilih pelajaran yang sama denganku, Fisika. Secara otomatis kami adalah rival. Desas-desus yang beredar mengatakan kalau gadis itu sengaja menantangku, meski aku tidak tahu dari mana gosip itu bersumber.

Gadis bersurai panjang yang sedang kulihat sekarang adalah seseorang yang memiliki semangat tinggi dalam belajar. Lihat saja, sejak tiga jam lalu Reya tidak pernah sekalipun menguap atau mengalihkan pandangan dari guru pembimbing yang sedang menjelaskan. Mulai hari ini, semua murid yang dipersiapkan mengikuti olimpiade sudah memiliki tutor masing-masing. Ada lima orang yang mengikuti kelas Fisika termasuk aku dan Reya.

Sebenarnya aku sama sekali tidak tahu kalau gadis itu memilih pelajaran yang sama denganku. Tapi setidaknya masih ada kesempatan untuk pindah kelas. Bagaimanapun aku harus mulai menjaga jarak darinya.

***

Kelas berakhir ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Aku melangkah keluar dengan wajah lesu, berharap sampai di rumah Kak Seira sudah pulang dan memasakkan sesuatu. Dalam keadaan lelah begini aku tidak mau makan mie instan. Kalau numpang makan di rumah Bagas lagi, orang itu akan menghinaku habis-habisan. Memang sahabat durhaka!

"Jelek banget mukanya."

Mendengar seseorang berujar dengan nada mengejek membuatku mendongak, Reya sedang berdiri sambil mengerutkan wajah di depan gerbang, bersama seorang lelaki yang terlihat mirip dengannya.

"Biarin, jelek begini kan tetap adekmu."

Lelaki itu tertawa seraya merangkul Reya, ia juga punya lesung pipi yang sama seperti gadis itu. Mereka benar-benar mirip, saudara kembar berbeda jenis kelamin yang punya wajah identik.

Kakiku terasa berat untuk melangkah, tanpa bisa dicegah netraku terus menatap dua orang yang sedang tertawa bersama hingga keduanya masuk ke dalam Limosin hitam dan menghilang dari pandangan.

Menghela napas, aku kembali melangkah seraya menunduk, menatap jalanan yang sedikit basah akibat hujan siang tadi. Meski tidak menangis, tapi pemandangan tadi membuat luka kembali tersayat. Aku ingin melupakan semuanya dan hidup dengan damai seperti yang mereka lakukan, tapi kenapa tidak bisa? Aku selalu kembali pada titik dimana harapan kecil tentang mereka selalu menggerogoti.

Sebut saja aku bodoh, karna nyatanya memang tidak mudah melupakan semua kenangan tentang mereka begitu saja. Aku pernah berandai, kalau saja waktu bisa diputar dan aku kembali pada masa itu, apa sekarang aku juga sedang tertawa bersama mereka?

"Deira?" Sapaan lembut dan hangat membuatku kembali mendongak, menatap seseorang yang tengah mengendarai sepeda milik Bagas.

"Kak Leon?" Bibirku membentuk sabit, membuka masker yang menutupi setengah wajah.

"Kamu baru pulang? Mau dianter sekalian?"

Tawaran yang sungguh menggoda. Dibonceng naik sepeda oleh seorang pangeran di atas aspal yang basah bekas sisa hujan, ditambah langit yang tertutup mendung, bukankah romantis?

"Enggak usah, Kak. Sebentar lagi sampe. Nanti malah Kak Leon yang harus muter," senyumku masih terpatri meski mengatakan hal yang tidak sesuai nurani. Dasar mulut pengkhianat!

"Santai aja, Dei. Kan enggak terlalu jauh juga muternya."

Bolehkah? Kak Leon menarik tanganku pelan, membimbingku agar duduk diboncengan belakang. Aku memegang ujung kaos hitam yang dikenakannya ketika sudah duduk dengan sempurna.

Lihat selengkapnya