Cara Hujan Menutup Luka

Agura Senja
Chapter #7

Menghapus Jejak

Senja sudah terbenam sejak dua jam lalu, langit gelap menemaniku yang sedang berjongkok, menatap api yang tengah membakar segala kenangan. Napas kuhembuskan perlahan, menengadahkan kepala menatap malam yang semakin sunyi. Aku belum pulang ke rumah sejak kepergian Bu Sri. Duduk di atas rumput basah di halaman belakang sambil menikmati foto-foto serta beberapa barang yang akan segera jadi abu.

Seharusnya sejak dulu aku memusnahkan semua ini, tapi jangankan untuk melihat kembali semua kenangan, melangkah masuk ke dalam rumah ini pun aku tidak punya nyali. Foto-foto aku, Dio, dan Reya sejak bayi, surat keterangan lahir dan pakaianku saat kecil, semuanya ikut terbakar. Aku tidak berniat menyisakan satu pun. Aku ingin terus hidup tenang dan nyaman sebagai Deira, gadis yatim piatu yang hanya punya seorang kakak sebagai keluarga.

Seragam sekolah yang belum sempat berganti membuat ku agak tidak nyaman. Belum lagi bau asap yang ikut menempel membuat seragamku makin berbau tidak karuan. Setengah jam kemudian api mulai padam, semua barang sudah terbakar hangus. Menyapu bersih sisa arang dan menyiramnya dengan air agar tidak terlihat ada bekas api, aku akhirnya bernapas lega.

"Dei!"

Suara teriakan Kak Seira membuatku menoleh, menatap wanita cantik itu berlari ketika menghampiriku di halaman belakang.

"Kamu baik-baik aja, kan?" Rautnya khawatir, aku tersenyum seraya menggeleng dan menuntun tangannya untuk masuk ke dalam.

"Baik banget, kok. Kakak bawa surat rumahnya?"

Aku memang sudah menelpon Kak Seira dan menceritakan semuanya, untung dia sudah pulang dari dinasnya di luar kota. Wanita itu menyerahkan map merah padaku, wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran.

"Makasih, Kak."

Aku melangkah menuju dapur dan meletakkan map merah berisi surat rumah yang dibawa Kak Seira di atas meja makan. Menatap sebentar nama wanita yang tercantum di surat itu dan tersenyum getir, aku menyadari lagi-lagi sebenarnya aku sangat merindukannya, merindukan senyum wanita yang telah meninggalkanku tanpa pesan.

Usapan lembut di bahu membuatku sedikit terlonjak, menemukan Kak Seira sedang tersenyum lembut. Tangan yang terulur dan mengusap pelan pipiku membuatku sadar bahwa ada air mata yang tergenang. Aku tidak tahu sejak kapan cairan bening mengalir deras hingga menimbulkan sedu sedan ketika Kak Seira merengkuhku dalam pelukan hangat dan melindungi.

***

Siswa-siswi berhamburan keluar gerbang sekolah, menunjukkan betapa kata 'pulang' adalah kebahagian tidak terhingga. Aku hanya bisa menatap, karna lagi-lagi aku harus terjebak di dalam kelas lain untuk latihan Olimpiade. Pagi tadi aku sudah menemui guru kesiswaan dan meminta izin untuk pindah ke kelas Biologi, dengan alasan ingin belajar lebih banyak hal.

Untungnya pihak sekolah percaya dengan alasan sederhana yang kuberikan, alhasil siang ini aku mulai duduk bersama tiga orang lainnya dalam kelas Biologi.

"Tapi syukur, deh! Gara-gara anak baru itu kan kita jadi punya penerangan buat kelas Biologi ini." Lelaki berkaca mata, ketua OSIS tahun ini, salah satu yang dipanggil jenius di sekolah, baru saja bersyukur aku pindah ke kelas Biologi.

Tiga orang yang mengikuti kelas Biologi bersamaku semuanya berasal dari IPA 1, seorang lelaki berstatus ketua OSIS dan dua lainnya merupakan siswi yang tergabung dalam klub fotografi. Sejak tadi mereka bergosip tentang si anak baru yang mencari masalah denganku. Kami masih duduk-duduk di bawah pohon besar, sangat sejuk dan nyaman di cuaca panas seperti saat ini.

"Sebenarnya kenapa kalian jadi bahagia banget aku gabung ke kelas ini? Bukannya malah bakal jadi saingan kalian?" Aku mengernyit tidak mengerti dengan kegembiraan berlebih yang mereka tunjukkan saat tahu aku bergabung disini.

"Saingan? Ya enggak, lah!" Siswi berambut sebahu tertawa, diikuti gadis lainnya dan sang ketua OSIS yang menggaruk belakang kepala sembari tersenyum kikuk.

"Bulan depan, di tanggal yang sama dengan jadwal Olimpiade, ada pameran seni dan salah satu fotografer kesayangan gue juga ada di sana. Jadi, gue awalnya berharap sama dua anak ini yang bakal berjuang buat Olimpiade." Dela, gadis berambut sebahu itu, menjelaskan seraya tersenyum lebar.

"Tapi gue juga mau ke pameran seni, secara gue kan anak klub fotografi, masa ada event besar begitu gue enggak dateng. Ya, kan?" Raisa menimpali, bibir plum gadis itu mengembang lebar.

Netraku beralih pada Brian, lelaki itu sedang memasang wajah sedih yang kentara sekali dibuat-buat. "Kamu tahu kalau tugas ketua OSIS itu banyak, kan?" ujarnya dengan ekspresi minta dikasihani. "Sebentar lagi ada banyak kegiatan di sekolah, kita mau jadi tuan rumah dalam lomba olahraga antar sekolah dua bulan lagi, terus kita juga bakal ngadain pentas seni dalam rangka Bulan Bahasa, belum lagi kegiatan akhir tahun ajaran yang udah numpuk banget minta diselesaikan."

Dela dan Raisa memasang raut jijik melihat ketua OSIS kebanggaan sekolah sedang bermuram durja, belum lagi wajah yang sedih dibuat-buat. Bibirku tidak henti tersenyum, merasa takjub bagaimana anak-anak jenius ini punya kepribadian aneh yang syukurnya tidak diketahui murid sekolah lain.

"Terus kapan kita masuk kelas?" Aku bertanya karna memang sudah hampir satu jam kami hanya duduk-duduk di bawah pohon dan mengobrol, padahal anak-anak lain sudah ke kelas masing-masing. Aku juga belum melihat guru pembimbing Biologi sejak tadi.

Lihat selengkapnya