Dari arah berlawanan, seorang laki-laki yang sangat Keiza kenali berjalan mengenakan kostum futsal Angkasa Jaya. Tak lupa, laki-laki itu memasang tampang tak pedulinya. Davian selalu begitu sejak saat itu. Memancarkan aura dingin yang mematikan untuk Keiza. Ia yakin Davian menyadari keberadaannya, tapi laki-laki itu tak ingin melihatnya.
Ia memandang punggung laki-laki itu sembari membaca nama yang tercetak di kostum futsalnya. Keiza menatap dengan pandangan terluka.
Davian, dengan nomor punggung 28. Entah Davian sengaja memilih angka tersebut di kostumnya atau ia memilih secara asal. Tapi, Keiza tahu persis bahwa pada hari itu, 28 November, Davian menyatakan perasaannya kepada Keiza.
“Keiza!” Rika memanggil dan Keiza refleks menoleh. Rika adalah sahabatnya sejak kecil. Rumah mereka pun berdekatan. Jadi, hampir tidak ada rahasia di antara mereka.
“Lo ngelihatin apaan, sih?!” Menyadari sesuatu, Rika langsung berkacak pinggang dan melihat Keiza dengan tatapan bosan. “Oh, Davian toh.”
Keiza diam, tak bisa mengelak.
“Gue tahu, kok. Tapi, lo nggak bisa kayak gini terus, Kei! Bosen gue ngelihatnya.”
“Rika, ayo! Kita udah ditunggu sama Miss Daisy di lapangan, latihan cheers! Lo nggak lupa, kan?” Suara cempreng Nabila dari ujung lorong kini menggema.
“Rik, gue mau ke ruang musik dulu, ya. Lo mau latihan cheers juga, kan?” Keiza menoleh dan tersenyum ke arah Rika, berusaha mengalihkan perhatian sahabatnya itu.
Sedetik kemudian wajah Rika langsung cerah dan berseri-seri kembali. Ia mengangguk mantap. “Bentar lagi gue ada lomba nih, doain yaaaa!” ujarnya lalu berlari menuju lapangan luar. Rika memang anak yang ceria. Ia termasuk murid populer di sekolah. Temannya banyak, aktif di ekskul cheers, dan termasuk primadona. Dengan wajah blasteran Belanda yang cantik, Rika mampu membuat siapa pun yang melihatnya terpesona.
***
Bau buku lama langsung menyeruak kala Keiza membuka pintu perpustakaan. Dingin ruangannya membuat Keiza ingin memeluk dirinya sendiri. Seperti biasa, ruang perpustakaan terasa sunyi karena semua pengunjung rata-rata sedang membaca ataupun mengerjakan tugas.
Yang pasti, semuanya dalam posisi menunduk.
Pun dengan laki-laki di ujung perpustakaan itu. Walau sedang menunduk, dahinya yang berkerut masih saja kelihatan dari jauh. Kentara sekali jika ia sedang mengerjakan tugas. Buktinya, sekarang ia sedang menulis sesuatu pada kertas di depannya.
Keiza tetap berdiam diri, melihatnya dari jauh. Keningnya yang berkerut ketika mengerjakan tugas sama sekali tak mengganggu Keiza. Malah membuat Keiza tersenyum secara tidak sadar.
Tiba-tiba saja laki-laki itu mendongak. Ia menatap Keiza dengan wajah tak pedulinya, lalu mengalihkan pandangannya lagi pada kertas di mejanya. Seakan tak mengenal sosok Keiza. Keiza mengembuskan napas berat, menundukkan kepala, lalu tersenyum sebisa mungkin untuk menetralkan mood-nya.
Keiza sudah mempersiapkan diri. Ia sudah mengingatkan dirinya berkali-kali bahwa Davian kini mempunyai aura dingin yang mematikan untuknya.