Caramel Popcorn

Annisa Tang
Chapter #1

Sad Movies - Masa Lalu

Saat itu senja sudah bergelayut manja di langit, yang berarti penantianku sudah mencapai titik akhir. Dia tak akan datang, aku melirik lirih pada anak semata wayangku. Nasib si istri siri, diperdaya cinta lelaki beristri, harus mengalah dalam segala situasi karena sang istri sah adalah ratunya, persetujuannya membuatku menjadi budak cinta. Tapi tanpa itu, aku tak akan bisa menjadi istri dari suaminya.

"Mom, today We are going to the Cinema, right?"

Kara menarik nafas berat dan menghembuskannya perlahan, ia baru saja menyelesaikan satu paragraf tulisannya di Laptop ketika anak semata wayangnya itu mengingatkan akan janji pergi menonton bioskop yang sempat ia ucapkan. Sebagai seorang ibu, Kara tahu jelas bahwa janji kepada seorang anak harus ditepati agar tidak berpengaruh terhadap kepercayaannya pada sang ibu.

"Ya, of course, so get your clothes now." Kara dan Rio, nama anak semata wayangnya itu, memang kadang-kadang berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris, untuk membiasakan Rio, dan menyiapkan masa depannya karena di masa yang akan datang, Bahasa Inggris akan sangat dibutuhkan.

Sementara Rio pergi mencari pakaian yang akan ia gunakan untuk pergi keluar rumah bersama sang ibu, Kara membaca kembali tulisannya. Hatinya perih, nasibnya tak jauh berbeda dengan salah satu tokoh ciptaannya yaitu si istri siri, dimana hampir setiap hari ia menunggu suaminya pulang ke rumah namun tak pernah terealisasi, bedanya hanya status yaitu ia sebagai istri sah.

Istri sah selayaknya istri siri, rasa yang menggerus hatinya setiap Kara menjuluki dirinya sendiri seperti itu. Jika tak memikirkan satu-satunya harta yang ia miliki yaitu Rio, Kara sudah lama meminta pisah dari suami yang menikahinya sejak 6 tahun lalu itu. Wanita mana yang mau menikah hanya untuk merasakan sepi.

Jaya, suaminya itu selalu beralasan bahwa usaha Game Center yang ia bangun tak bisa ditinggalkan sehingga ia harus tetap berada di ruko untuk mengawasi. Kebetulan Game Center tersebut memang buka selama 24 Jam, dan untuk menghemat biaya Jaya me-maintain sendiri jika ada perangkat atau jaringan yang rusak.

Kara memaksakan diri untuk maklum meski keinginan hatinya berbeda. Sudah sejak memiliki anak mereka hidup tak utuh. Ketika kesabaran dalam hati Kara terkikis habis, mereka akan bertengkar hebat, dan sudah bertahun-tahun mereka menjalani hidup yang seperti ini, paling tidak dalam 5 tahun terakhir, sesuai usia Rio.

"Kamu tidak kasihan sama aku. Aku kerja 24 Jam di sana, aku hanya bisa tidur di sela-sela pekerjaan, dan itu akan membuang-buang waktuku jika aku harus bolak-balik pulang ke rumah!"

Begitu selalu kalimat yang dilontarkan oleh Jaya, dan tentu saja menyulut api dari dalam dada Kara yang sudah terlalu lama menyimpan beban di hatinya.

"Jadi menurutmu, pulang ke rumah, berkumpul bersama keluarga itu, membuang-buang waktu?! Kalau begitu kita berpisah saja! Aku juga tidak tahan hidup seperti ini, punya suami hanya sekedar status!"

Jaya melotot mendengar kalimat yang dilontarkan Kara, membuat hatinya pun terasa panas.

"Pisah?! Berani kamu bilang itu sekali lagi, aku kabulkan, tapi Rio ikut denganku! Tidak kubiarkan kamu mengambil anak lelakiku!"

"Apa hakmu mengambil anakku?! Rio aku yang lahirkan, rawat, dan didik. Yang kamu punya hanya status! Tak ada satupun hal yang kamu lakukan untuknya!"

Kara menangis, selalu begitu, ia merasa sangat lemah di hadapan Jaya, membuat suaminya itu bersikap sewenang-wenang. Kara memang sangat takut kehilangan Rio.

"Pokoknya kamu lihat saja kalau kamu berani mengatakan hal itu lagi!"

Kara bungkam, hanya air mata yang masih mengalir, membuatnya kemudian memilih bersikap dingin daripada harus melakukan aksi protes lagi di hadapan Jaya. Kara merasa kalah sebelum berperang, ia tak mampu menuntut hak-haknya sendiri sebagai seorang istri.

"Mom, are You ready?"

Rio menghampirinya dengan baju kaos lengan pendek, celana panjang jeans, kaos kaki dan sepatu keds-nya. Lamunan Kara buyar, ia membalikkan badan dan menatap anak lelaki satu-satunya itu dengan haru. Rio sangat tampan, sedang berdiri di belakang tempat Kara duduk sambil tersenyum manis. Ia memang sangat mandiri di usianya yang masih begitu belia, mampu memadu-padankan busananya sendiri.

Lihat selengkapnya