Sepulang sekolah Shaka dan Yuvan mengunjungi kelas Najla, mereka ingin mengajak Arsen, Eryna dan Najla untuk nongkrong. Karena ini hari jumat, mereka pulang lebih cepat dan sudah tidak ada latihan olimpiade untuk Arsen dan Najla.
“Najla!” ucap Shaka berusaha mengagetkan Najla.
“Kaget ga?” tanya Shaka. Jangankan kaget, bahkan Najla melihat ke arah wajah Shaka pun tidak.
“Ntar ya, aku masih ngerjain tugas dikit lagi beres,” ucap Najla masih berkutat dengan buku catatan dihadapannya.
“Di rumah aja, ayo kita main!” ucap Shaka tidak sabaran.
“Dikit lagi, 2 soal lagi,” ucap Najla sembari memperlihatkan buku yang sedang ia kerjakan..
“Satu soalnya aja hampir selembar, dikit lagi gimana?!” ucap Shaka. Hanya dibalas senyuman oleh Najla, ucapan Shaka tidak ada salahnya.
Shaka masih berdiri di hadapan Najla, ia memainkan pensil dan pulpen Najla. Shaka juga melihat-lihat buku Najla yang ada di meja. Ketika Shaka sedang memainkan penghapus yang akan dipakai Najla. Saat itu, Najla ingin mengambil penghapus yang berada di tangan Shaka dan menyadari bahwa ada sebuah luka. Tidak, bukan luka di hatinya. Melainkan dua luka lebam di lengan Shaka.
Najla mendongak, memperhatikan wajah Shaka. Ia melihat luka goresan? Entahlah seperti bekas cakaran di leher Shaka.
“Kamu berantem?” tanya Najla.
“Tadi si Yuvan bi-“ belum selesai Shaka berbicara, Najla sudah menarik lengan Shaka keluar kelas. Menuju wastafel di samping kelas.
“Ini kenapa?” tanya Najla sembari menunjuk lengan Shaka yang lebam. Pandangan Najla hanya mengarah pada lengan Shaka.
“Ehmm, La” ucapan Shaka terhenti, Najla mencoba membersihkan luka lebam Shaka. Najla masih mengomel sembari membersihkan luka lebam Shaka. Tidak ada yang bisa Shaka lakukan untuk menghentikan ‘kicauan’ Najla saat ini.
“Kok?” Najla bingung melihat luka lebam Shaka yang memudar, ia mulai merasa ada kejanggalan yang terjadi.
“Ini di gambarin sama temen, namanya Arash. Pake spidol doang, bagus kan?” tanya Shaka.
“Hah?!” ucap Najla kaget mendengar perkataan Shaka, bagaimana bisa ini hanya sebuah gambar? Pantas saja ketika Najla membersihkan luka lebam Shaka, Shaka bahkan tidak mengaduh kesakitan.
Kenapa juga Najla harus panik dan segera menarik tangan Shaka tadi? Apa pedulinya? Kenapa ia berlebihan seperti ini? Ah, bahkan Najla tidak bisa berfikir dengan baik sekarang, pikirannya melayang kemana mana.
“Aku ga kenapa-napa la,” ucap Shaka. Najla yang saat itu masih memegang lengan Shaka, langsung melepaskan tangan Shaka.
“Leher kamu juga?” tanya Najla sembari melihat ke arah leher Shaka.
“Emang leher aku kenapa?” tanya Shaka kebingungan sembari meraba lehernya, mencari letak luka yang dimaksud.
“Luka gitu kayaknya ke cakar” ucap Najla sembari berjinjit untuk memastikan penglihatannya.
“Oh kayaknya pas ribut sama Yuvan, kita sempet baku hantam sedikit. Kuku kelingking kiri Yuvan udah se-abad ga dipotong” ucap Shaka.
“Kok bisa nyampe ke leher?” tanya Najla.
“Yah bisa, cowok kalo ribut semua jurus dipake” ucap Shaka.
“Emangnya cewek? Kalo ribut mainnya jambak rambut sambil adu mulut, kenapa kakinya ga dipake coba? Padahal bisa dipake buat nendang!” lanjut Shaka.
“Kamu nyindir? Atau ngasi tips cara berantem yang bener?” tanya Najla.
“Emm? Menurut kamu yang mana?” tanya Shaka.