Tella tidak lagi mengambang.
Dia berada di tanah lembap, jauh dari hal-hal cerah berkilauan seperti malam sebelumnya, ketika pulau pribadi Legend masih memancarkan cahaya sewarna ambar yang mengembuskan pesona serta keajaiban dengan secercah muslihat. Kombinasi yang sedap. Dan Tella bersenang-senang di dalamnya. Saat pesta perayaan berakhirnya Caraval, dia menari sampai sandalnya penuh rumput dan menyesap bergelas-gelas flute sampanye sampai dirinya melayang.
Namun, saat ini tubuhnya menelungkup dengan wajah menghadap tanah hutan yang keras.
Dia mengerang, tidak berani membuka mata, menyugar rambutnya dari serpihan-serpihan alam, berharap sisa-sisa semalam bisa dengan mudah disapu juga. Semuanya berbau alkohol basi, jarum-jarum pinus, dan kekeliruan. Kulitnya gatal dan sepertinya ada yang menggerayang, dan satu-satunya hal yang lebih buruk daripada kepalanya yang berputar-putar adalah rasa sakit seperti terpelintir di punggung dan lehernya. Mengapa dia mengira jatuh tertidur adalah ide brilian?
“Argh.” Terdengar erangan tidak puas seseorang yang hampir terjaga.
Tella membuka mata, mengintip ke samping, dan segera menutup kelopaknya. Demi malaikat.
Dia tidak sendirian.
Di tengah-tengah pepohonan yang menjulang dan hijaunya lantai hutan, Tella membuka mata cukup lama untuk melihat sekilas kepala berambut legam, pergelangan tangan dengan bekas luka, serta tangan seorang lelaki yang bertato mawar hitam. Dante.
Semuanya kembali dalam serbuan memori yang samar-samar. Bagaimana rasa tangan Dante membungkus pinggangnya. Juga ciuman di bibirnya.
Apa yang dia pikirkan saat itu?
Tentu saja Tella tahu persis apa yang ada di benaknya selama pesta penampil Caraval malam sebelumnya. Dunia tercecap seperti sihir dan sinar bintang, seperti harapan yang dikabulkan dan menjadi nyata, tetapi di balik semua itu, kematian masih terasa di lidah Tella. Tak peduli sebanyak apa sampanye yang diminumnya, atau betapa hangat udara setelah berdansa, Tella masih menggigil saat teringat kembali rasanya mati.
Meloncat dari balkon Legend bukanlah tindakan putus asa, melainkan lompatan keyakinan. Namun, dia tidak mau memikirkannya, atau mencari tahu alasan hal tersebut penting. Paling tidak, untuk semalam ini saja. Dia ingin merayakan keberhasilannya, dia ingin melupakan segala hal lainnya. Dan Dante tampak sempurna bagi kedua tujuan tersebut. Lelaki itu menarik, bisa sangat menawan, dan sudah sangat lama sejak kali terakhir Tella dicium dengan pantas. Dan, oh, Dante tahu caranya.
Dante kembali mengerang dan meregangkan tubuh di sebelah Tella. Tangannya yang lebar mendarat di pinggang gadis itu, terasa hangat dan mantap, dan jauh lebih menggoda daripada seharusnya.
Tella mengingatkan diri untuk kabur sebelum lelaki itu terbangun. Namun, bahkan saat tertidur pun Dante begitu ahli dengan tangannya. Jari-jarinya merambah malas di sepanjang tulang belakang Tella dan berhenti di lehernya, terbenam di rambutnya hingga membuat punggung Tella melengkung.
Jari-jari Dante membeku.
Embusan napas Dante mendadak sunyi, membuat Tella yakin lelaki itu sudah bangun.
Tella bangkit tergesa-gesa dari tanah sambil menelan sumpah serapah, menjauh dari jemari Dante. Dia tidak peduli lelaki itu melihatnya menyelinap pergi; itu akan jauh lebih nyaman daripada harus bertukar basa-basi sebelum salah satu dari mereka cukup berani untuk membuat alasan mengapa dia atau lelaki itu harus buru-buru pergi. Tella sudah cukup banyak mencium laki-laki untuk tahu bahwa apa pun yang dikatakan seorang lelaki sebelum atau persis setelah menciumnya sama sekali tidak dapat dipercaya. Lagi pula, dia benar-benar harus pergi.
Memori Tella mungkin agak buram, tetapi entah bagaimana dia tidak bisa melupakan surat yang diterimanya sebelum bersenang-senang dengan Dante. Orang asing, dengan wajah tersembunyi di balik jubah malam, telah menyelipkan surat tersebut di saku gaunnya dan menghilang sebelum dia bisa membuntuti. Dia ingin segera membaca ulang pesan tersebut, tetapi mengingat utang apa yang dimilikinya kepada teman yang mengirimnya, dia tidak menganggap hal tersebut bijaksana. Dia harus kembali ke kamarnya.
Tanah lembap dan jarum-jarum pohon berpaku menyelip di antara jari kakinya saat dia mulai menyelinap pergi. Sandalnya entah di mana, tetapi dia tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk mencari benda itu. Hutan diwarnai cahaya madu samar dan ditingkahi dengkuran berat dan gumaman-gumaman yang membuat Tella berpikir bukan hanya dia dan Dante yang tertidur di bawah gemintang. Dia tidak peduli jika salah satu dari mereka melihatnya menyelinap pergi dari si lelaki tampan, tetapi dia tidak mau ada orang yang memberi tahu kakaknya.
Dante lebih daripada sekadar jahat terhadap Scarlett selama Caraval. Dia bekerja untuk Legend, jadi semua itu hanyalah akting. Namun, meskipun Caraval sudah berakhir, rasanya sulit memisahkan antara fakta dengan fiksi. Dan Tella tidak ingin kakaknya terluka lebih dalam karena Tella memilih bersenang-senang dengan seorang lelaki yang sangat kejam kepada Scarlett selama permainan.
Untungnya, dunia tetap tertidur saat Tella mencapai tepi hutan dan, akhirnya, rumah Legend yang bermenara.
Bahkan sekarang, setelah Caraval secara resmi berakhir dan semua lilin serta lentera di dalamnya sudah dimatikan, rumah megah tersebut masih mengembuskan gumpalan-gumpalan cahaya kekuningan yang memperdaya, mengingatkan Tella akan muslihat-muslihat yang belum dimainkan.