Kamar tidur Scarlett Dragna merupakan istana yang dibangun dari rasa takjub dan daya khayal. Namun, di mata orang yang sudah lupa cara berimajinasi, kamar tersebut mungkin semata-mata tampak berantakan karena pakaian yang berserakan. Gaun-gaun merah delima terhampar di karpet putih gading, sedangkan rok-rok biru langit digantung di pojok-pojok ranjang besi berkanopi, terayun lembut ditiup angin berbau garam yang menyelinap masuk dari jendela terbuka. Kakak beradik yang duduk di kasur sepertinya tidak menyadari embusan angin, atau orang yang masuk besertanya. Sosok baru ini mengendap-endap seperti pencuri, tidak bersuara selagi beringsut mendekati ranjang tempat putri-putrinya sedang bermain.
Scarlett, si putri sulung, sedang sibuk meluruskan mantel merah muda yang disampirkan ke pundaknya seperti jubah, sedangkan adik perempuannya, Donatella, membelitkan seuntai renda sehalus krem ke wajah seperti tutup mata.
Suara mereka melengking ringan dan seceria pagi, khas suara anak-anak. Bunyinya saja sudah berdampak magis, melelehkan sinar mentari terik tengah hari menjadi keping-keping karamel cemerlang yang menari-nari di seputar kepala mereka seperti halo dari debu bintang.
Mereka berdua terkesan bak malaikat sampai Tella mengumumkan, “Aku perompak, bukan putri.”
Mulut ibu mereka ragu-ragu, antara ingin tersenyum dan cemberut. Putri bungsunya mirip sekali dengannya. Tella memiliki detak jantung pemberontak dan jiwa petualang seperti dirinya. Anugerah ibarat pedang bermata dua ini selalu membangkitkan harapan dalam diri sang ibu, sekaligus rasa takut kalau-kalau Tella membuat kekeliruan sama seperti dirinya.
“Tidak,” kata Scarlett, lebih keras kepala daripada biasanya. “Kembalikan, itu mahkotaku! Aku tidak bisa menjadi ratu tanpa mahkota.”
Mimik cemberut sang ibu menang saat dia semakin mendekat ke tempat tidur. Scarlett lazimnya tidak terlalu ngotot seperti Tella, tetapi mulut kedua anak perempuan itu berkerut saat mereka bersikukuh mencengkeram ujung-ujung berlawanan seuntai kalung mutiara.