Caraval #3 Finale

Noura Publishing
Chapter #2

AWAL MULA 1

Donatella

Kali pertama Legend muncul dalam mimpi Tella, dia se­olah baru keluar dari cerita-cerita yang orang kisah­kan mengenai dirinya. Sebagai Dante, dia selalu berpakaian hitam, yang senada dengan tato mawar di punggung tangannya. Namun, malam ini, sebagai Legend, dia mengenakan jas berekor dengan pinggiran emas, serta sederet kancing ganda merah meng­goda, dilengkapi kravat yang serasi dan topi tinggi yang khas.

Rambut hitam ikal nan mengilap menyembul dari pinggiran topinya, membingkai mata sekelam batu bara yang berbinar keti­ka melihat Donatella. Matanya lebih kemilau diban­ding perairan gemerlap di seputar perahu mereka yang intim. Itu bukanlah ta­tapan dingin tanpa perasaan yang dia berikan kepada Tella dua malam lalu, tepat setelah lelaki tersebut menyelamatkannya dari kartu, kemudian menelantarkannya dengan keji. Malam ini, Le­gend tersenyum seperti pangeran iseng, selepas kabur dari bin­tang-bintang, siap untuk menerbangkannya ke kayangan.

Kupu-kupu yang datang tak diundang seakan mengepak-nge­pak di dalam perut Tella. Legend masihlah pendusta paling rupawan yang pernah dia lihat. Namun, Tella tidak akan membiarkan Legend memikatnya seperti saat Caraval. Tella memukul topi tinggi itu se­hingga terlepas dari kepala indah lelaki tersebut, alhasil menggo­yangkan perahu kecil tempat mereka duduk.

Legend menangkap topi dengan mudah, jari-jarinya bergerak cepat sekali. Andaikan Legend tidak tepat di hadapannya, lumayan dekat sehingga Tella bisa melihat otot yang berkedut-kedut di ra­hang mulus lelaki itu, Tella mungkin saja menduga lelaki itu sudah mem­per­kirakan reaksinya. Mereka sedang berada dalam mimpi, ber­atapkan langit bertabur bintang yang keunguan di bagian pinggir seperti dibayang-bayangi oleh mimpi buruk, tetapi Legend nyatanya setegas goresan pena dan setajam darah segar.

“Kukira kau akan senang melihatku,” kata lelaki itu.

Tella memelototinya dengan galak. Perasaan terluka gara-gara peristiwa silam, kali terakhir dia berjumpa Legend, masih begitu se­gar sehingga tidak bisa disembunyikan. “Kau angkat kaki—kau me­ninggalkanku di undakan, padahal aku bahkan tidak bisa berge­rak. Jacks menggendongku pulang ke istana.”

Bibir Legend menipis, berubah kecut. “Jadi, kau tidak akan me­maafkanku perihal itu?”

“Kau belum minta maaf.”

Jika sudah, Tella pasti memaafkannya. Dia ingin memaafkan lelaki itu. Dia ingin meyakini bahwa Legend tidak lain-lain amat dari Dante dan bahwa Legend menganggap Tella lebih dari sekadar pion yang ingin lelaki itu mainkan. Dia ingin meyakini bahwa malam itu Legend meninggalkannya karena takut. Namun, alih-alih tampak menyesali perbuatannya, Legend justru jengkel karena Tella masih marah kepadanya.

Langit bertambah gelap sementara awan-awan ungu yang me­liuk-liuk mengiris bulan sabit menjadi dua, menciptakan sebentuk senyum terbelah yang melayang-layang di langit.

“Aku harus pergi karena ada urusan lain.”

Lihat selengkapnya