Cardiff Sunshine

Britania Dwihana
Chapter #1

Croeso

“Ini dia!! Ketemu juga… tapi bagaimana jika kita tidak sampai sebelum jam 6 sore, bisa gawat banget…. Kalau telat, kita menginap dimana?”, ujarku cemas sembari mengemudi mobil MPV biru yang cukup besar dan penuh barang.

“Pasti sempat, tenang saja Hanna,” kata Mila mencoba menenangkanku.

Croeso. Akhirnya aku menemukan tulisan ini di sisi jalan berukuran besar. Kata yang unik, yang terdengar menyimpang dari Bahasa Inggris. Padahal GPS menunjukan posisi kami saat ini di negara Inggris Raya. Croeso artinya selamat datang dalam Bahasa Wales. Wales merupakan salah satu negara bagian dari Inggris raya yang terletak di bagian barat dengan ibukotanya yang bernama Cardiff.

Sepanjang perjalanan kami di tol, yang terlihat disamping adalah pohon-pohon besar dengan daunnya berwarna kuning kemerahan karena sedang musim gugur. Cuaca yang cerah pun mendukung perjalanan kami walaupun diluar dinginnya sekitar lima belas derajat Celsius.

Aku sudah mengemudi selama delapan jam. Kami berangkat dari Lancaster, sebuah kota kecil di Barat Laut negara bagian Inggris. Kami menuju ke selatan melewati kota Liverpool dan Manchester, terus ke selatan sejauh 200 mil melewati kota Birmingham hingga mencapai Kota Bristol. Dari Bristol, kami bertolak ke arah barat menyeberangi jembatan Severn Bridge sejauh 1 mil hingga tiba di wilayah perbatasan antara negara bagian Inggris dengan Wales. Berdasarkan google map, seharusnya perjalanan kami hanya memakan waktu empat jam saja.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Aku dan adikku, Mila, terpaksa harus buru-buru agar sampai di kota Cardiff sebelum jam 6 sore karena sudah membuat janji dengan agen flat yang akan kusewa. Keadaan kami terpaksa mengendarai mobil sewaan dan hanya aku yang boleh menyetir karena aku yang memiliki Surat Izin Mengemudi Internasional. Kami bertolak dari Lancaster karena Mila baru saja menyelesaikan sekolah S2 nya dalam bidang Teknologi Informasi di Lancaster University. Ia mendapatkan beasiswa dari salah satu Kementerian di Indonesia.

Aku tidak jago menyetir di Indonesia, apalagi di Inggris. Ini pertama kalinya aku menyetir di luar negeri. Tegang sekali rasanya tapi ini satu-satunya cara paling efisien dan efektif. Untungnya, mobil di Inggris menggunakan setir kanan sama persis seperti pengemudi di Indonesia. “Kakiku semakin gemetaran nih, kok kita belum sampai-sampai ya?” tanyaku.

“Sedikit lagi beneran, ini sesuai di google maps”, respon Mila.

Kami bisa saja naik kereta atau bis yang lebih murah. Akan tetapi, alasan utama kami menyewa mobil adalah karena kami membawa banyak sekali barang-barang bekas Mila yang sangat bermanfaat untuk kehidupanku di Cardiff nanti. Selain koper-koper berisi baju, mobil kami penuh sekali dengan barang seperti piring dan gelas, panci dan seperangkat alat masak, bantal dan guling, seprai dan selimut. Bahkan tempat sampah dan jemuran baju pun ada. Semua ini tidak hanya bekas Mila, tetapi juga buangan dari teman-teman kuliah Mila yang juga mahasiswa Indonesia di Lancaster. Istilahnya aku menjadi penampungan sampah mereka juga. Namun, ini sebenarnya berharga sehingga aku tidak perlu membeli barang baru.

Keteganganku bertambah ketika mulai banyak bertemu linkaran round-a’bout yang jarang ditemui di Indonesia. Bentuk jalan yang terpaut linkaran ini sebenarnya memudahkan pengemudi mobil karena mereka tidak perlu menunggu lampu merah, serta dapat menghubungkan 3-5 jalan sekaligus. Akan tetapi aturan mainnya adalah mobil kita boleh masuk putaran ketika di sisi kanan kita tidak ada lagi mobil yang memasuki putaran.

Mila sedari awal perjalanan membantu aku menjadi navigator. Setelah memasuki batasan kota Cardiff, tulisan Croeso di lambang jalan semakin sering dijumpai. Terlihat pepohonan pun semakin kuning kemerahan. Alhamdulillah, hatiku sudah mulai tenang.

Pikiranku melayang-layang selagi mobil kami memasuki tengah kota. Inikah hasil dari usahaku selama ini? Semakin banyak terlihat perumahan tua-tua yang terbuat dari bebatuan dan bata merah. Selain itu, anehnya semua rumah tua tersebut memiliki warna dan model yang sama. Pintu rumahnya terbuat dari kayu tua dengan bentuk lengkungan busur dibagian atasnya. Jendela dan cerobong asap di atapnya dengan posisi yang seragam. Di depan setiap rumah terdapat tempat sampah berbahan plastik setinggi 1 meter berwarna hitam dengan roda dibawahnya dan terdapat lambang ‘Cardiff Council’.

“Ternyata di Inggris itu orang-orangnya sederhana ya karena semua rumahnya seperti seragam!”, aku terperangah.

Kotanya cukup ramai, terlihat di jalanan banyaknya mahasiswa berjalan kaki dan menyeberang di lampu merah. Jalanan lumayan diramaikan mobil-mobil pribadi dan bus. Akan tetapi jalanan tidak macet. Sambil mencari alamat tujuan, aku pun masih belum sadar bahwa cita-citaku sebenarnya sudah tercapai.

Aku baru tiba di UK tiga hari terakhir ini dan Mila pun akan pulang kembali ke Jakarta setelah aku sudah settle. Suami dan anakku tidak dapat ikut dalam perjalananku ini. InsyaAllah mereka akan menyusul semester depan karena suamiku sedang menyelesaikan kuliah S2 nya. Aku benar-benar seorang yang beruntung.

Lihat selengkapnya