Cardiff Sunshine

Britania Dwihana
Chapter #3

Cardiff Sunshine in the Winter

Januari 2015. Satu semester telah berlalu dan Mila sudah pulang kembali ke Jakarta. Sebelum ia pulang, aku memberikannya seuntai gelang batu berwarna hijau kenang-kenangan dari Cardiff, sebagai terima kasihku karena telah memberikan banyak support pada masa-masa awal kepindahanku. Aku pun mendoakannya agar ia segera bertemu dengan jodoh yang terbaik dan sukses dengan karir barunya.

Cardiff merupakan kota yang sering hujan. Di musim dingin seperti ini, sangat jarang sekali turun salju. Hal ini dikarenakan UK merupakan pulau kecil yang terpisah dengan daratan Eropa. Karena bentuknya pulau yang terpisah dengan lautan maka daratan UK lebih hangat daripada daratan Eropa sehingga tidak turun salju, dan lebih banyak turun hujan. Namun, di tengah-tengah hujan lebat dan gerimis, terkadang suka terselip cahaya matahari yang terik dan menghangatkan tubuh.

Saat ini musim dingin dan suhu diluar sekitar 2-3 derajat celsius. Dalam dua semester pertama di CARBS, aku harus mengikuti kelas wajib yang mengajarkan metode-metode penelitian. Siang ini aku sedang mengerjakan tugas di meja kerjaku di kantor PhD LOM. Aku senang menatap jendela di depan meja kerjaku, aku senang menatap jendela apapun. Ibuku pernah bilang bahwa sedari kecil aku memang suka ‘bengong’. Dari jendela di mejaku, aku bisa melihat kereta yang sangat dekat melewati gedung kampusku, perumahan dikejauhan serta awan putih dilangit yang biru pada cuaca cerah.

Meja kerjaku ini diberikan kepadaku dari kakak kelas yang baru saja lulus sidang PhD ketika angkatanku baru masuk. “Alhamdulillah, aku dapat meja kerja dari seseorang yang berhasil lulus, mudah-mudahan pertanda baik untukku,” ucapku dalam hati. Namun, yang lebih aku senangi dari meja ini adalah karena terdapat jendela untuk melihat pemandangan di depannya. Jika mataku sudah lelah memandang layar laptopku dan layar komputer kantorku, maka aku tinggal menggeser pandanganku sedikit pada jendela tersebut.

Perjalanan penelitian PhD merupakan perjalanan yang panjang seperti lari maraton karena penelitian tersebut dikerjakan selama 4 tahun. Dapat juga dianalogikan sebagai perjalanan yang sepi karena lebih banyak mengerjakan tugas sendiri. Pembimbing hanya teman diskusi di kala kita bingung atau tersesaat. Sementara rekan-rekan PhD lainnya agak jarang bekerja di kantor (ruang yang disiapkan kampus untuk para peneliti PhD). Mereka terkadang bekerja di perpustakaan atau di tempat tinggalnya. Aku sesekali bertemu rekan-rekan PhD untuk merayakan ulang tahun salah seorang teman, makan-makan di akhir semester atau makan-makan pada acara penting keagamaan.

Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 4.30 sore. Aku harus segera pulang dan bergantian dengan suamiku untuk menjaga baby girl kami, Clara. Suamiku harus berangkat ke tempat kerjanya yang dimulai jam 5 sore. Ia mendapatkan kesempatan bekerja memasak di restoran yang dimiliki oleh keluarga British muslim. Ia bekerja sampai dengan pukul 1 dini hari. Ia harus mengerjakan semuanya bersama dengan 2 orang rekan satu shiftnya. Ia harus bisa memasak, menjaga kasir, membersihkan dapur, ruangan tempat makan dan toilet.

Awalnya kami hanya sedang berjalan-jalan ke city centre dan melihat pengumuman lowongan chef, tertulis pada kertas yang ditempel pada dinding kaca depan restoran. Aku pun selanjutnya membantunya mengirimkan email lamaran. Dalama email tersebut aku menyatakan bahwa ia memiliki visa dependen untuk menemani istrinya sekolah di UK, ia seorang pekerja keras dan suka memasak untuk keluarga. Alhamdulillah, ia mendapat panggilan untuk kerja trial selama seminggu. Selanjutnya ia diuji apakah bisa mendapatkan lowongan tersebut yaitu dengan ujian membolak-balik masakan di wok besar yang berat dan panasnya dapat mencapai 400 derajat. Aku sangat bangga dan bersyukur ketika dia dapat diterima menjadi chef.

Lihat selengkapnya