CAREN

IS KUN
Chapter #1

Malam Pertama yang Tidak Pernah Direncanakan

Nama aslinya Rani, tapi dunia yang baru mengenalnya sebagai Caren.

Dia tak pernah bercita-cita menjadi wanita panggilan. Tak pernah bermimpi untuk dibayar demi sentuhan. Tapi malam itu, di sebuah kamar hotel yang dindingnya tipis dan selimutnya sedikit lembab, dia meletakkan semua rasa malu di sudut tempat tidur. Hanya demi satu hal: bertahan hidup.

Malam itu bukan awal dari segalanya, sebenarnya. Tapi itu malam pertama yang benar-benar membuatnya merasa seperti bukan manusia.

Sore sebelumnya, hujan deras membasahi Jalan Raya Mampang. Caren berdiri di bawah atap warung, menggenggam erat plastik berisi gorengan dan air mineral. Celananya basah sampai lutut, dan tas kecilnya menyimpan satu-satunya ponsel yang ia punya—yang layarnya sudah retak di tiga sudut, tapi masih cukup untuk membalas pesan dari orang-orang asing yang memakai nama samaran seperti “Om Edo” dan “Mr. A.”

Ponselnya bergetar.

“Lokasi hotel udah aku kirim ya. Jangan telat, aku ada meeting jam 9.”

Caren menatap pesan itu lama. Jantungnya berdetak kencang. Keringat dingin di punggung, padahal hujan sedang mengguyur Jakarta. Dia tidak menjawab. Hanya memasukkan ponsel ke saku jaket dan berjalan cepat ke arah ojek online yang sedang berteduh.

“Hotel Melati ya, Bang. Yang di belakang Tendean.”

“Yang deket kantor berita itu?”

“Iya. Cepet ya, Bang. Saya telat.”

Selama perjalanan, Caren memejamkan mata. Hujan memukul-mukul helm pinjaman dari abang ojek, dan suara klakson membuat malam terasa semakin berat. Tapi pikirannya tak henti-henti berputar.

Haruskah aku batalin?

Tapi uang kos nunggak. Makan besok pun belum jelas.

Tadi Mama WA, katanya Bapak demam lagi. Tapi aku cuma bisa jawab 'Doain Rani ya, Ma.'

Dia menggigit bibir. Menahan semua rasa bersalah yang mulai merayap.

Hotel itu tidak buruk, tapi juga tidak istimewa. Resepsionis tak bertanya apa-apa saat ia menyebut nama Mr. A. Kuncinya langsung diberikan, diselipkan dalam amplop kecil.

“Kamar 207. Sudah dibayar, Mbak.” kata resepsionis.

“Terima kasih.” balas Caren.

Tangannya gemetar saat membuka pintu kamar. Aroma sabun hotel murah bercampur dengan parfum maskulin menyambutnya. Di dalam, seorang pria berumur empat puluhan sedang duduk di pinggir ranjang. Wajahnya bersih, jas mahal tergantung di kursi.

“Caren, ya?” tanya seseorang dari balik kamar, yang merupakan Mr. A

Rani mengangguk.

“Iya, Mas.” ucap Rani.

Mr. A tidak banyak bicara. Dia mempersilahkan Rani duduk, menawarkan air mineral, lalu menyalakan musik dari ponselnya. Musik jazz pelan. Atmosfer yang seolah dibuat nyaman, tapi justru semakin mencekam.

Caren berusaha tersenyum. Tapi wajahnya terasa kaku.

“Baru ya?” tanya pria itu, menatapnya dari ujung rambut hingga lutut.

Lihat selengkapnya