CAREN

IS KUN
Chapter #2

Dari Rumah yang Retak, ke Dunia yang Gelap

Keluarga Rani tidak pernah benar-benar miskin menurut standar desa. Tapi mereka juga tidak pernah punya cukup. Mereka tinggal di rumah kecil berlantai semen kasar di ujung gang kampung. Atapnya bocor di dua titik. Listrik sering mati. Kamar mandi mereka hanya berdinding seng dengan ember sebagai bak mandi.

Waktu Rani umur sembilan tahun. Ayahnya, Pak Suryo, dulunya guru SD—disegani, dicintai murid, sering dapat undangan ceramah di masjid kampung. Tapi kehormatan tidak menjamin penghidupan. Ketika status honorer tak diperpanjang oleh pihak sekolah, segalanya runtuh.

Dari seorang pendidik, Pak Suryo perlahan berubah menjadi pria yang murung, mudah tersinggung, dan... sakit-sakitan. Pertama-tama maag kronis karena pola makan berantakan. Lalu asam lambung naik hampir setiap malam. Tapi puncaknya adalah stroke ringan yang datang tiba-tiba saat ia mengangkat galon air ke dapur.

Sejak hari itu, separuh tubuhnya melemah. Bicaranya melambat, tangan kirinya kadang bergetar, dan jalan pun mesti dituntun. Ia tidak lagi keluar rumah. Tidak lagi berceramah. Tidak lagi jadi kepala keluarga. Yang tersisa hanya tubuh tua dan kemarahan yang tumbuh diam-diam karena merasa gagal sebagai ayah.

Ibunya, Bu Rina, adalah gambaran perempuan tangguh yang tak punya pilihan lain selain bertahan. Ia tidak sekolah tinggi. Tapi ia bisa menjahit, bisa masak katering kecil, bisa bersihin rumah orang, bahkan bisa bantu tetangga menjual gorengan setiap sore di depan SD. Apa saja ia lakukan. Pekerja serabutan, kata orang-orang.

Masa SMA adalah masa ketika Rani mencoba jadi “anak baik” dengan harapan dunia akan memberinya tempat yang lebih pantas. Ia belajar keras, menghindari cowok-cowok di kelas, dan menyibukkan diri dengan organisasi.

“Anak pertama harus jadi contoh,” kata ibunya.

Tapi contoh itu terlalu berat.

Di belakang semua rapor yang bagus, Rani menyembunyikan banyak hal: sakit perut karena makan telat, tugas yang tak sempat diketik karena printer rusak, dan malam-malam di mana ia harus tidur sambil menahan suara cekcok orang tuanya.

Tahun ketiga SMA, ia pacaran untuk pertama kalinya. Namanya Reza. Kelas sebelah. Satu ekstrakurikuler film pendek. Reza tampan, lucu, dan manis. Terlalu manis untuk Rani, menurut teman-temannya. Tapi Rani jatuh cinta karena Reza tak hanya menyukai senyumnya—tapi juga mendengarkan ceritanya.

Untuk pertama kalinya, ia merasa jadi gadis biasa. Bisa tertawa, bisa menggenggam tangan seseorang di lapangan kosong belakang sekolah.

Tapi semuanya cepat berubah.

Suatu malam, di ulang tahun Reza ke-18, mereka pergi ke rumah teman yang kosong. Reza membawa anggur murah dan bicara soal masa depan. Mereka duduk di atas karpet sambil menyalakan lilin kecil. Lalu bibir mereka bertemu. Dan dari sana, segalanya mengalir terlalu cepat.

Rani tak menolak. Tapi dia juga tidak siap. Itu bukan pemerkosaan. Tapi itu juga bukan cinta. Itu hanya… terlalu cepat dan gelap.

Setelah malam itu, Reza berubah. Tidak membalas pesan. Tidak datang ke sekolah. Teman-temannya mulai melirik Rani dengan pandangan aneh.

“Cewek kayak lo, gampang,” kata salah satu teman Reza, sebulan setelah mereka putus.

Lihat selengkapnya